Filsafat Ilmu: Topik-Topik Epistemologi

Review Perkuliahan
Filsafat Ilmu: Topik-Topik Epistemologi[*]
Oleh Ahmad Badrut Tamam

foto bersama Prof. Dr. Noeng Muhadjir
1.  Tradisi ilmu sekarang ini dibangun dari tradisi Yunani ilmu murni, ke Islam Andalusia yang eksperimental dan teknologik, dan eropa yang antroposentris, dan ilmu sekarang yang humanistik. Jelaskan masing-masing dan jelaskan dimana posisi Islam Baghdad?

Tradisi Ilmu Yunani
Filsafat Yunani merupakan periode yang sangat penting dalam sejarah peradaban manusia, karena pada waktu ini terjadi perubahan pola pikir manusia dari mitosentris menjadi logosentris. Dari proses inilah kemudian ilmu berkembang dari rahim filsafat. Karena itu, periode perkembangan filsafat Yunani merupakan entri poin untuk memasuki peradaban baru umat manusia. Inilah titik awal manusia menggunakan rasio untuk meneliti dan sekaligus mempertanyakan dirinya dan alam jagad raya.
Tradisi ilmu Yunani adalah ilmu murni dengan mengembangkan filsafat paripathetik, yaitu dengan mempelajari segala sesuatu secara empiris. Tradisi keilmuan Yunani menitik beratkan pada tinjauan empiris. Diskusi-diskusi santai yang dilakukan pada waktu itu menjadi dasar acuan pertama tentang rasionalitas. Kajian kebenaran hanya pada bagaimana tanggapan secara empiris rasionalitas. Bisa dikatakan bahwa keilmuan yang murni menjadi trend pada saat itu.
Filsafat Yunani klasik mengalami puncaknya di tangan Aristoteles. Dia adalah filosof yang pertama kali membagi filsafat pada hal yang teoritis (logika, metafisika, dan fisika) dan praktis (etika, ekonomi, dan politik). Pembagian ilmu inilah yang menjadi pedoman bagi klasifikasi ilmu di kemudian hari.

Tradisi Ilmu Islam Andalusia
Transformasi intelektual dari Yunani ke dalam Islam mengambil bentuknya sendiri yang disesuaikan dengan ajaran Islam. Karena itu, beberapa hal ditafsirkan kembali dalam pemahaman yang Islami dengan tanpa mencerabut nilai dasar dari pemikiran induknya. Tidak sedikit pertentangan, atau lebih tepat disebut ketidaksamaan, antara tradisi pemikiran Islam dan tradisi pemikiran Yunani yang disebabkan oleh perbedaan cara pandang dan rujukan serta tujuan dari pemikiran yang dikembangkan. Tradisi intelektual Islam adalah tradisi yang bersumber pada Al-Qur'an dan Al-Hadis sebagai pijakan epistemologinya dan lebih bersifat naqly (berdasarkan wahyu), dan bermuara pada tujuan menegaskan keesaaan Allah sebagai asas ajaran Islam. Sementara tradisi Yunani berpijak pada logika rasional dan sangat dipengaruhi oleh mitologi dan politeisme.
Islam Andalusia mengembangkan filsafat paripatathetik Yunani menjadi empiris-eksperimen yang dimanfaatkan untuk mengembangkan dan menciptakan teknologi. Berangkat dari rasionalitas Yunani kemudian dikembangkan dalam Islam Andalusia yang eksperimental dan tehnologi. Islam Andalusia banyak melakukan eksperimen-eksperimen untuk menguji kebenaran, dari uji empiris eksperimen diolah dengan ilmu matematika, fisika, kimia, biologi, yang kemudian berkembanglah penemuan teleskop dan konstruk bangunan. Dari penemuan teleskop kemudian berkembang kepada pengetahuan alam semesta. Dari konstruk bangunan kemudian berkembang arsitektur ornamen bangunan yang praktis, higienis, dan bercorak kesenian. Hal itu semua pada Islam Andalusia dibingkai pada rasionalitas ontologik metafisik yang mana eksperimen yang dilakukan muaranya pada pengagungan asma Allah dan menyayangi mahluk ciptaan-Nya.

Tradisi Ilmu Eropa
Tradisi ilmu Eropa dari abad ke-8 M sampai dengan abad ke-16 M. dibangun berdasarkan ilmu pengetahuan Yunani yang dikembangkan Andalusia, akan tetapi mulai abad ke-16 M, Eropa menimba langsung ilmu Yunani, abad ini disebut humanisme Eropa dan cita-cita ilmu menjadi antroposentris. Pada masa ini pemikiran filsafat berhasil menempatkan manusia pada tempat yang sentral dalam pandangan kehidupan, sehingga corak pemikirannnya antroposentris, yaitu pemikiran filsafatnya mendasarkan pada akal fikir dan pengalaman, dan menjadikan manusia sebagai pusat perhatian penyelidikan filsafat. Selain itu, yang menjadi topik utama ialah persoalan epistemologi.
Pemikiran filsafat masa abad ini berusaha meletakkan dasar-dasar bagi metodologis ilmiah. Pemikiran filsafat diupayakan lebih bersifat praktis, artinya pemikiran filsafat diarahkan pada upaya manusia agar dapat mengasai lingkungan alam dengan menggunakan berbagai penemuan ilmiah.

Tradisi Ilmu Sekarang
Adapun tradisi Ilmu sekarang berawal dari ilmu empirik eksperimental (Andalusia), menjadi antroposentris dan materialistik, kemudian pada akhirnya dikembalikan ke habitat asalnya yaitu menjadi teo-humanistik. Yang dimaksud dengan kembali ke habitat asalnya bukan melestarikan yang lama, akan tetapi dikembalikan ke karakteristik yang lebih signifikaan sesuai dengan fitrah manusia.
Manusia diberi peluang untuk memanfaatkan kauniyah dan keteraturan alam semesta sebagai takdir menjadi rekayasa teknologi, dan dengan mengacu pada qauliyah membuat kreasi sistem sosial. Semua itu bermuara pada satu tujuan, yaitu untuk mengagungkan Allah dan menyayangi makhlukNya.

Posisi Tradisi Ilmu Islam Baghdad
Posisi Islam Baghdad sama dengan Islam Andalusia, sama-sama mengadopsi ilmu dari Yunani selama 50 tahun (750-800 M). Mu’tazilah Baghdad yang mengadopsi ilmu itu dinilai menampilkan pemikiran yang dikhawatirkan dapat menggoyahkan keimanan. Mu’tazilah kemudian disingkirkan dan digantikan dengan Sunni, untuk penyelamatan keimanan, sehingga pusat telaah studi menjadi teosentris dalam paradigma ilahiyah. Setelah itu bagdad memang masih berkembang terus tradisi keilmuannya, tetapi dalam tradisi Sunni karena Mu’tazilah dan Syi’ah ditekan.
Yang menarik, Islam Baghdad tak menerjemahkan karya-karya sastra dan teater Yunani kuno, dunia Islam saat itu lebih menyukai sastra dari Persia. Dari Yunani yang diambil adalah filsafat dan ilmu pengetahuan. Dalam filsafat, Aristoteles berpengaruh dalam ilmu dan logika. Selain Yunani, juga menerjemahkan karya-karya satra India. Di tahun 773 M, atas titah al-Mansur, diterjemahkan ”Siddhanta”, risalah astronomi tua Hindu. Dari beberapa risalah Hindu ini mungkin para matematikus Islam ”menemukan” angka 0, yang sebelumnya tak dikenal.

2.   Setelah mendapat rekomendasi Al-Ghazali, logika formil Aristoteles menjadi manthiqnya Islam tradisional sampai sekarang. Jelaskan cara berfikir menggunakan logika formil/manthiq Islam tentang nash. Kami menyarankan diganti model logika realisme metafisik deduktif. Bagaimana cara pembuktian nash dengan model ini ? Jelaskan!.
Di dalam cara berfikir dengan menggunakan ilmu manthiq terdapat  dua istilah, yaitu premis minor dan premis mayor. Premis minor adalah berbagai kasus yang terjadi, sedangkan premis mayor adalah nash yang dijadikan dasar. Telaah  terhadap premis minor (kasus) harus disesuaikan dengan premis mayor (nash). Apabila kasus tersebut tidak sesuai atau tidak cocok nash maka perlu adanya perbaikan terhadap kasus tersebut. Kebenaran nash adalah kebenaran yang bersifat mutlak. Semua kejadian yang berhubungan dengan kehidupan manusia, baik itu menyangkut hal-hal yang bersifat ubudiyyah maupun mu’amalah, semuanya harus sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh Al-Qur’an.
Dalam perkembangan sekanjutnya  muncul logika realisme metafisik deduktif yang mengacu pada kebenaran transenden, kebenaran wahyu, kebenaran the highes wisdom of Allah sebagai kebenaran mutlak. Bagi muslim kesemuanya itu bisa tercermin dari dalam dirinya ketika dia telah menanamkan bukti keimanan yang sempurna dan mampu menjalankan rukun Islam secara total.
Logika realisme metafisik kemudian dikembangkan dengan membangun tafsir secara maudhu’i dan diuji secara deduktif probabilistik, contohnya seperti seorang pencuri yang mampu mengucapkan dua kalimat syahadat dan tidak berbohong adalah titik dasar dia mempunyai tiket masuk surga, berbeda dengan sahabat yang mati dalam keadaan berkhianat sehingga untuk mengucapkan syahadat mengalami kesulitan adalah bukti Allah menghedaki dia masuk neraka. Sangkut pautnya dengan hal ini nash dibuktikan secara kausatif bisa jadi berimbas pada penarsiran yang maudlu’i.

3.  Ada sekian era studi Islam, yakni: klasik, historis kritis, phenomenologik (studinya disebut Islamologi), Islam modern (mottonya ; Islamisasi ilmu pengetahuan), dan Islam postmodern (upaya dekonstruksi banyak hal). Jelaskan dengan contoh.

Studi Islam Klasik
Tradisi studi Islam klasik dikembangkan dengan cara berpikir deduktif kategorik. Terlalu banyak yang disakralkan dalam studi Islam klasik. Fiqh dan usul fiqh seringkali lebih dominan dan menjadi acuan lebih dari Al-Qur’an dan Al-Hadits. Pondok-pondok pesantren adalah salah satu contoh model studi Islam klasik. Mayoritas pondok pesantren salafiyah maupun khalafiyah di Indonesia kajiannya terpusat pada studi fiqh dan usul fiqh.
Beberapa disiplin ilmu yang sudah berkembang pada masa klasik Islam antara lain: ilmu fikih, ilmu kalam, ilmu hadis, ilmu tafsir, ilmu usul fiqh, ilmu tasawuf, yang biasa pula disebut sebagai bidang ilmu naqli, ilmu-ilmu yang bertolak dari nash-nash Al-Qur'an dan Al-Hadis.

Studi Islam Historis Kritis
Studi historis kritis berasal dari studi sejarah agama Kristen yang berupaya menjelaskan bahwa terjadinya perbedaan kitab perjanjian baru dan kitab perjanjian lama adalah wajar, karena masing-masing ditulis pada zaman yang berbeda.
Dalam perkembangannya, historis kritis kemudian juga dipakai oleh para orientalis untuk mengkritisi Islam. Para orientalis menolak Al-Qur’an sebagai wahyu Tuhan. Dengan menggunakan pendekatan positivistik (yang hanya mengakui sesuatu yang bersifat faktual-indrawi, dan menolak bahwa Muhammad menerima wahyu), para orientalis menunjuk bahwa ceritera yang ada dalam Al-Qur’an itu hanya meniru atau memalsukan cerita dalam injil dan taurat.

Studi Islam Phenomenologik
Studi Islam phenomenologik mengkaji tentang fenomena-fenomena atau apa saja yang nampak, yang berpusat pada analisis terhadap gejala yang menampakkan diri pada kesadaran manusia. Menurut Scheler ada tiga jenis fakta yang memegang peranan penting dalam pengalaman fenomenologis, yaitu (a) fakta natural, (b) fakta ilmiah, dan (c) fakta fenomenologis. Fakta natural berasal dari pengalaman inderawi dan menyangkut benda-benda yang nampak dalam pengalaman biasa. Fakta ilmiah mulai melepas diri dari penerapan indrawi yang langsung dan semakin abstrak. Fakta fenomenologis merupakan isi “intuitif” yang merupakan hakikat dari pengalaman langsung, tidak terikat kepada ada tidaknya realisasi di luar.
Karakteristik studi Islam phenomenologik di antaranya:
a.   Berpusat pada analisis terhadap gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita. Analisis menunjukkan bahwa kesadaran itu sungguh-sungguh selalu terarah kepada obyek.
b.   Orang harus berpikir, dengan memulai dengan mengamati hal sendiri, tanpa dasar apapun. Memulai kegiatannya dengan meneliti penglaman-pengalamannya sendiri tentang realita dan menjauhkan diri dari meneliti dan mengulangi (teori orang lain).
c.   Kebenaran dibuktikan berdasarkan ditemukannya yang essensial.
d.  Menerima kebenaran di luar empirik indrawi. Oleh sebab itu mereka menerima kebenaran sensual, kebenaran logik, ethik dan transedental.
e.   Fenomena baru dapat dinyatakan benar setelah diuji korespondensinya dengan yang dipercayainya.
f.   Fenomenologi lebih merupakan sikap bukan suatu prosedur khusus yang diikuti pemikirannya (diskusi, induksi, observsi dll). Dalam hubungan ini hubungan langsung dengan realitas berdasarkan intuisi.

Studi Islam Modern
Dalam menatap era globalisasi, ada beberapa model studi Islam modern (islamisasi pengetahuan) yang bisa dikembangakan, diantaranya: model purifikasi, model modernisasi islam, dan model neo-modernisme.
Purifikasi yaitu pembersihan atau pensucian. Dalam arti, Islamisasi pengetahun berusaha menyelenggarakan pengkudusan ilmu pengetahuan agar sesuai dengan nilai dan norma Islam. Model ini berasumsi bahwa dapat dilihat dari dimensi normatif-teologis. Doktrin Islam pada dasarnya mengajarkan kepada umatnya untuk memasuki Islam secara kaffah sebagai lawan dari ber-Islam secara parsial. Dengan melihat berbagai pendekatan yang dipakai Al-faruqi dan Al-Attas dalam gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, seperti: (1) Penguasaan khazanah ilmu pengetahuan muslim, (2) Penguasaan ilmu pengetahuan masa kini, (3) Identifikasi kekurangan-kekurangan ilmu pengetahuan itu dalam hubungannya dengan ideal Islam. Dan (4) Rekontruksi ilmu-ilmu itu sehingga menjadi paduan yang selaras dengan warisan dan idealitas Islam.
Modernisasi berarti proses perubahan menurut fitrah atau sunatullah. Sunatullah mengejawantahkan dirinya dalam hukum alam. Sehingga untuk menjadi modern, umat Islam harus memahami lebih dahulu hukum yang berlaku dalam alam, yang pada gilirannya akan melahirkan ilmu pengetahuan. Karena itu, modern berarti ilmiah dan rasional.
Sedangkan model neo-modernisme berusaha memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam Al-quran dan sunnah dengan mempertimbangkan khazanah intelektual muslim klasik serta mencermati kesulitan-kesulitan dan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh dunia iptek. Adapun jargon yang sering dikumandangkan adalah “memelihara kebaikan di masa lalu dan mengambil kebaikan yang baru”.

Studi Islam Postmodern
Studi Islam postmodern berupaya memahami sesuatu secara kritis-kreatif terhadap semua bentuk kemapanan pemikiran, baik konstruk, sistem, sampai paradigma.  Dekontruksi merupakan gebrakan postmodern terhadap pemikiran modern yang fungsionalis, strukturalis, dan paradigmatik. Postmodern mendekonstruk pemikiran fungsionalis yang terkesan mempertahankan kemapanan kapitalis, mendekonstruk atas strukturalisme makna konvensional, dan berupaya mencari makna baru, sehingga postmodern juga disebut poststrukturalis, dan postmodern mendekonstruk paradigma yang ada, atas kecurigaan kemampuan paradigma konvensional memecahkan masalah baru yang muncul, sehingga postmodern juga disebut postparadigmatik.

4.  Jelaskan studi tafsir sejak sera Rasulullah (tahlili, ra’yi), abad 11 M (maqarin), semantik, sampai perkembangan sekarang yang hermeneutik.

Metode Tahlili
Yang dimaksud dengan metode tahlili ialah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. Jadi, metode tahlili yaitu mufassir membahas Al-Qur’an ayat demi ayat, sesuai dengan rangkaian ayat yang tersusun di dalam Al-Qur’an. Maka, tafsir yang memakai metode ini mengikuti naskah Al-Qur’an dan menjelaskannya dengan cara sedikit demi sedikit, dengan menggunakan alat-alat penafsiran yang ia yakini efektif (seperti mengandalkan pada arti-arti harfiah, hadis atau ayat-ayat lain yang mempunyai beberapa kata atau pengertian yang sama dengan ayat yang sedang dikaji), sebatas kemampuannya di dalam membantu menerangkan makna bagian yang sedang ditafsirkan, sambil memperhatikan konteks naskah tersebut.
Metode tahlili juga merupakan metode yang berusaha untuk menerangkan arti ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya, berdasarkan urutan-urutan ayat atau surah dalam mushaf, dengan menonjolkan kandungan lafadz-lafadznya, hubungan ayat-ayatnya, hubungan surah-surahnya, sebab-sebab turunnya, hadis-hadis yang berhubungan dengannya, pendapat-pendapat para mufassir terdahulu dan mufassir itu sendiri diwarnai oleh latar belakang pendidikan dan keahliannya.

Metode Ra’yi
Seiring perkembangan zaman yang menuntut pengembangan metode tafsir karena tumbuhnya ilmu pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah maka tafsir ini memperbesar peranan ijtihad dibandingkan dengan penggunaan tafsir bi al-Matsur. Dengan bantuan ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur'an, hadits dan ilmu hadits, ushul fikih dan ilmu-ilmu lain seorang mufassir akan menggunakan kemampuan ijtihadnya untuk menerangkan maksud ayat dan mengembangkannya dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada. Metode ini dikenal dengan tafsir bi ar-ra’yi.
Tafsir bi-ra’yi merupakan metodologi penafsiran Al-Qur’an berdasarkan rasionalitas pikiran (ar-ra’yu), dan pengetahuan empiris (ad-dirayah). Tafsir jenis ini mengandalkan kemampuan “ijtihad” seorang mufassir, dan tidak berdasarkan pada kehadiran riwayat-riwayat (ar-riwayat). Disamping aspek itu, kemampuan tata bahasa, retorika, etimologi, konsep yurisprudensi, dan pengetahuan tentang hal-hal yang berkaitan dengan wahyu dan aspek-aspek lainnya menjadi pertimbangan para mufassir.

Metode Maqarin
Tafsir al-Maqarin adalah penafsiran sekolompok ayat al-Qur’an yang berbicara dalam suatu masalah dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat atau antara ayat dengan hadis baik dari segi isi maupun redaksi atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan segi-segi perbedaan tertentu dari obyek yang dibandingkan. Jadi yang dimaksud dengan metode komporatif (maqarin) ialah: (a) membandingkan teks (nash) ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi suatu kasus yang sama, (b) membandingkan ayat al-Qur’an dengan hadis yang pada lahirnya terlihat bertentangan, dan (c) membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an.
Ciri utama metode ini adalah ”perbandingan” (komparatif). Di sinilah letak salah satu perbedaan yang prinsipil antara metode ini dengan metode-metode yang lain. Hal ini disebabkan karena yang dijadikan bahan dalam memperbandingkan ayat dengan ayat atau dengan hadis, perbandingan dengan pendapat para ulama.

Metode Semantik
Hakikat semantik adalah bagian dari struktur bahasa yang berhubungan dengan makna ungkapan dan makna wicara atau sistem penyelidikan makna dan arti dalam suatu bahasa pada umumya. Dalam pengertian ini bahasa terkait dengan kondisi sekitar pemakainya, sehingga makna dari suatu kata (ujaran) terkait erat dengan sang penutur dalam konsteks siapa pemakainya, di mana, sedang apa, kapan dan bagaimana, sehingga membedakan dengan pemakai yang lain.
Sebagai istilah teknis, semantik mengandung arti tentang studi makna. Semantik menelaah lambang-lambang atau tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan makna yang satu dengan yang lain dan pengaruhnya terhadap manusia dan masyarakat. Semantik pada hakikatnya mempelajari bagaimana setiap pemakai bahasa dalam suatu masyarakat dapat saling mengerti. Singkatnya, semantik dapat diartikan sebagai kajian linguistik yang obyeknya berupa makna.

Metode Hermeneutik
Hermeneutika merupakan teori filsafat mengenai interpretasi makna. Secara etimologis kata hermeneutika diambil dari bahasa Yunani, yakni hermeneuein, yang berarti “menjelaskan” Kata tersebut kemudian diserap ke dalam bahasa Jerman Hermeneutik dan bahasa Inggris hermeneutics. Sebagai sebuah istilah kata tersebut didefinisikan sebagai “ajaran tentang proses pemahaman interpretatif, juga tentang pemberian arti atau penafsiran”. Friedrich Schleiermacher mengartikan istilah tersebut dengan “seni memahami secara benar bahasa orang lain, khususnya bahasa tulis”.
Hermeneutika, sebagai sebuah metode penafsiran, tidak hanya memandang teks, tetapi hal yang tidak dapat ditinggalkannya adalah juga berusaha menyelami kandungan makna literalnya. Lebih dari itu, ia berusaha menggali makna dengan mempertimbangkan horizon-horizon yang melingkupi teks tersebut, baik horizon pengarang, horizon pembaca, maupun horizon teks itu sendiri. Dengan kata lain, sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika memerhatikan tiga hal sebagai komponen pokok dalam kegiatan penafsiran, yakni teks, konteks, dan kontektualisasi.
Hermeneutika, sebagaimana disebut di atas, pada dasarnya merupakan suatu metode penafsiran yang berangkat dari analisis bahasa dan kemudian melangkah ke analisis konteks, untuk kemudian “menarik” makna yang didapat ke dalam ruang dan waktu saat proses pemahaman dan penafsiran tersebut dilakukan. Jika pendekatan hermeneutika ini dipertemukan dengan kajian Al-Qur`an, maka persoalan dan tema pokok yang dihadapi adalah bagaimana teks Al-Qur`an hadir di tengah masyarakat, lalu dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan, dan didialogkan dengan dinamika realitas historisnya

5. Era Islam Andalusia Adalah era Pencerahan atau enlightening. Umat Islam sekarang perlu sekaligus meninggalkan yang dogmatic ke pencerahan Islam, sekaligus pemberdayaan atau empowering. Jelaskan apa ujud empowering sekarang ini. Jelaskan !.

Islam Andalusia telah mengalami kemajuannya yang sangat pesat di bidang ilmu pengetahuan di saat Eropa masih dalam kebodohan (jahiliyah). Setelah Eropa belajar dan menimba ilmu dari tradisi keilmuan Islam Andalusia selama sekitar 6 abad (sekitar abad ke-8 sampai dengan abad ke-15), keadaan pun berbalik seratus delapan puluh derajat, Eropa mengalami kemajuan dan umat Islam mengalami kemandekan di bidang ilmu pengetahuan. jadi, merupakan hal yang umum, bahwa penemuan dan kemajuan dunia barat sekarang ini adalah sumbangan umat Islam Andalusia.
Dengan melihat sejarah kemajuan Islam andalusia di atas, maka sesungguhnya tugas kita sebagai generasi Islam sudah sangat jelas yaitu bagaimana kita melakukan usaha pemberdayaan (empowering) terhadap sesuatu yang sebenarnya sudah lama dimiliki Islam.
Pemberdayaan dalam konteks pengembangan masyarakat Islam adalah merupakan sebuah pembelajaran kepada masyarakat agar mereka dapat secara mandiri melakukan upaya-upaya perbaikan kualitas kehidupannya baik yang menyangkut tentang kesejahteraan dan keselamatannya di dunia maupun di akhirat. Ada beberapa bentuk empowering bisa dilakukan oleh umat Islam saat ini, di antaranya:
a. Pemberdayaan intelektual, yaitu dengan cara:
1) menggunakan akal dan pikiran secara optimal.
2)meninggalkan pemikiran yang tematik, memberdayakan dan mengembangkan ilmu Islam menjadi ilmu trandisiplin dan crossdisiplin. Pengembangan multidisiplin tetap digunakan. Pengembangan iterdisiplin kehilangan ruhnya, sehingga perlu ditinggalkan, digantikan teknologi dan science.
3)Membemberdayaan dan mengembangkan pemikiran yang kreatif dan diridhoi oleh Allah SWT. dalam segala bidang.
4)Dalam keilmuan islam disamping dengan menggunakan jalan empat fase  empiris yaitu empiris indrawi, empirs rasional, empiris etik dan empiris trasedental. Juga memerlukan logika vertikal untuk mencapai kesuksesan umat, artinya adanya nilai penyerahan diri (tawakkal) kepada Allah SWT.
b. Pemberdayaan teknologi dan temuan-temuan ilmu pengetahuan yang ada. Memanfaatkan teknologi dan alat-alat modern lainnya yang telah ada untuk memudahkan pemenuhan prasarana kehidupan dan menjadikannya tangga untuk menemukan teknologi yang lebih modern dan bermamfaat bagi ummat serta yang diridhoi Allah SWT seperi memanfaatkan dan mengembangkan astronomi dan teknologi teleskop ruang angkasa sebagai upaya untuk menyempurnakan ibadah, disamping itu diharapkan bisa menemukan penemuan baru untuk menentukan esensi waktu ibadah yang menyatu.
c.  Pemberdayaan ekonomi pada tingkat individu mengacu kepada pengembangan sumber daya manusia yang mandiri, sehingga pemberdayaan diarahkan kepada kecakapan hidup (life skill) dan ketrampilan berwirausaha. Hal ini ditujukan untuk menghindarkan manusia (secara individu) dari kemiskinan.
d.  Dalam pemerintahan, diperlukan adanya dan diperdayaakan sikap saling hormat menghormati dan toleransi antar agama dan organisasi sehingga tercipta keamanan. Pengembangan masyarakat Islam dalam konteks negara diarahkan kepada terbentuknya masyarakat yang sejahtera baik material maupun memiliki kualitas spiritual yang tinggi, ysng dalam tatanan ini dikenal dengan masyarakat madani (civil society), dimana tatanan kehidupan yang ada di dalamnya terdiri dari komunitas sosial (masyarakat) yang satu dengan lainnya saling bergaul secara beradab, yang memiliki kesalehan pribadi dan kesalehan sosial.

6.   Pemaknaan nash dapat dipilahkan yang ta’abbudi dan ta’akkuli. Jelaskan tentang riba, tentang poligami, tentang yang lain (satu lagi), mana yang ta’abbudi dan mana yang ta’akkuli. Tentu sekaligus maknanya

Yang dimaksud dengan taabbudi adalah ketentuan-ketentuan hukum dari nas Alqur’an dan Hadits yang harus diterima oleh manusia apa adanya dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum tersebut. Sedangkan taaqquli adalah suatu upaya penalaran terhadap maksud ayat dalam rangka memahami makna yang tersirat dari bentuk-bentuk perintah dan larangan yang tersurat. Atau apabila merujuk kepada pengertian ta’abbudi di atas, maka ta’aqquli adalah sesuatu (perintah atau larangan) dalam nas yang ada illat hukumnya atau hikmahnya.
Contoh pemaknaan terhadap  nash dengan memilah-milah aspek ta’abbudi dan ta’akkuli­-nya.
a.  Ayat tentang poligami (An-Nisa’: 3)
Aspek ta’abbud-nya poligami yang terdapat pada ayat tersebut adalah melindungi anak-anak yatim (anak syuhada’) dan janda-janda misikin (istri syuhada’). Adapun aspek ta’akkuli­-nya poligami terletak pada dapat atau tidaknya berbuat adil.
Dalam era emansipasi wanita seperti sekarang ini, dimana wanita sudah dianggap sederajat dengan pria, maka semua yang dianggap ta’aqqul tidak patut lagi dipakai sebagai dalih untuk melakukan poligami.

b.      Ayat tentang Riba (Al-Baqarah : 275)
Yang di katakan riba adalah ikatan pinjam-meminjam yang di dalamnya terdapat unsur kesewenang-wenangan, seperti orang yang menghutangi mengharuskan peminjam mengembalikan hutangnya dengan jumlah yang lebih dari jumlah saat ia pertama kali berhutang.
Aspek ta'abbud-nya riba terletak pada ada atau tidaknya kesewenang-wenangan. Dengan demikian, Janji keuntungan sejauh tidak melampui keuntungan yang biasanya dapat diperoleh untuk usaha tersebut, itu adalah ta'aqqul. Agar tidak terjadi kesewenang-wenangan, lebih tepat di alokasikan asuransi kemacetan kredit dan ditata implikasinya.

c.       Ayat tentang tentang jual beli (An-Nisa : 29)
Dari ayat tersebut terlihat bahwa ‘illat dari keabsahan jual beli (perniagaan) adalah rasa suka sama suka (‘an taradlin). Rasa suka sama suka ini adalah aspek ta'abbud-nya jal beli. Adapun mengenai bentuk atau wujud dari rasa suka sama suka merupakan aspek ta’aqquli. Menurut pendapat jumhur ‘Ulama dari kalangan Syafi’iyyah, Syi’ah dan Zahiriyyah, rasa suka sama suka itu hanya dapat diwujudkan denganucapan lisan (akad ijab kabul). Namun menurut al-Syaukani, pernyataan suka sama suka dalam jual beli tidak mutlak harus dengan ucapan secara lisan saja. Orang boleh mengungkapkannya dengan cara-cara lain, seperti dengan isyarat, tulisan dan sebagainya, asalkan dapat membuktikan rasa suka sama suka.

7.  Barat sampai sekarang membuat dikotomi antara ilmu dan agama. Ilmu urusan publik, agama urusan pribadi. Islam mengintegrasikan ilmu dalam agama. Departemen agama menjadi bagian dari urusan publik, merupakan strategi tepat, dan anda harus menjadi bagian yang mampu mengokohkan peran Departemen Agama. Jelaskan sejarahnya bagaimana traidi itu terjadi. Anda yang membuat dikotomi seperti barat, berarti anda terpengaruh paradigma barat. Koreksi anda untuk diri sendiri apa?.

Barat mendikotomikan ilmu dan agama
Barat telah melakukan dikotomi atau pemisahan antara ilmu dan agama (sekularisasi) sejak 250 tahun. Terdapat beberapa pendapat tentang asal mula pendikotomian antara ilmu dan agama di Barat tersebut. Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa pendikotomian tersebut bermula dari pergolakan pemikiran dan pertarungan gagasan, seperti tercermin dalam kasus Copernicus, Galileo, Darwin dan para saintis lain yang menentang doktrin Gereja. Begitu juga di bidang teologi, muncul tokoh-tokoh seperti Eichhorn dan Strauss yang menerapkan berbagai metode historis-kritis dalam kajian Bibel. Kedua, pendapat yang beraggapan bahwa sekularisasi adalah dalam kerangka modernisasi, seperti perubahan masyarakat dari agraris ke industri, dari kehidupan pedesaan menjadi perkotaan, dari kebiadaban menjadi peradaban, dan seterusnya. Ketiga, mereka yang berpendapat bahwa pendikotomian bukanlah bagian dari modernisasi. Pemisahan ilmu dan agama hanyalah satu dari sekian banyak gejala sosial seperti budaya pop, idealisme politik dan sebagainya, yang bersaing satu sama lain dan berebut pengaruh sebagai agen perubahan sosial.
Di samping pendapat-pendapat di atas, ada satu pendapat lagi yang lebih ekstrem yang menyatakan bahwa dikotomi ilmu dan agama di Barat sebenarnya bertolak dari ajaran Kristen sendiri. Dalam Injil Matius XXII: 21 tercatat ucapan Yesus: “Urusan Kaisar serahkan saja kepada Kaisar dan urusan Tuhan serahkan kepada Tuhan.” Sebagai implikasinya, agama tidak perlu ikut campur dalam urusan politik. Dari sinilah kemudian muncul dikotomi antara regnum dan sacerdotium, pemisahan antara kekuasaan Raja dan otoritas Gereja, antara negara dan agama.
Faktor lain yang mendorong pendikotomian ilmu dan agama di barat adalah gerakan Reformasi Protestan sejak awal abad ke-16, sebuah reaksi terhadap maraknya korupsi di kalangan Gereja yang dikatakan telah memanipulasi dan memolitisasi agama untuk kepentingan pribadi. Agama digunakan sebagai alat politik untuk meraih kekuasaan. Maka tidaklah berlebihan jika disimpulkan bahwa sekularisasi di barat adalah proses yang wajar dan niscaya bagi masyarakatnya.

Islam mengintegrasikan ilmu dalam agama
Berbeda dengan barat, ilmu dan agama dalam Islam merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Islam mengajarkan umatnya untuk senantiasa mengamati alam dan menggunakan akal (QS Yunus: 101, QS al-Ra’d: 3), yang mana kedua hal ini merupakan landasan untuk membangun ilmu pengetahuan modern. Perintah mengamatiberbagai fenomena alam menuntun manusia untuk berpikir secara empiris. Danpenggunaan akal sebagai dasar dalam berpikir secara rasional.
Umat Islam mendapatkan semangat yang luar biasa karena banyak sekali perintah atau nash yang menyinggung masalah keilmuan. Hal ini bisa dilihat pada masa awal Islam, banyak sekali kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan, bahkan sumber ilmu yang dikembangkan itu berasal dari agama dan peradaban selain Islam. Para ulama banyak menerjemahkan buku-buku dari Yunani dan Persia. Namun usaha yang dilakukan tidak terbatas sebagai penerjemah saja, tapi juga memberikan tambahan berupa saran dan kritik terhadap ilmu yang dipelajari dari luar tersebut dan juga mengembangkan ilmu pengetahuan yang sudah ada, sehingga memunculkan suatu teori baru.
Apabila ilmu dan agama dipisahkan maka akan terjadi malapetaka seperti teknologi nuklir yang digunakan sebagai senjata perang; penggunaan bahan bakar minyak yang tidak terkendali, sistem yang tidak memanusiakan manusia, dimana nantinya akan menghancurkan peradaban manusia itu sendiri. Sejarah telah membuktikan bahwa pemisahan ilmu pengetahuan dari agama telah menyebabkan kerusakan yang tidak bisa diperbaiki. Sebaliknya keimanan harus dikenali melalui ilmu pengetahuan, keimanan tanpa ilmu pengetahuan akan mengakibatkan fanatisme dalam kemandekan.

Fenomena di Indonesia; Kementerian Agama bagian dari urusan publik
Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, selalu berupaya untuk mengintegrasikan ilmu dan agama. Adanya Kementerian Agama (dulunya bernama Departemen Agama) merupakan wujud kongkrit dari upaya tersebut. Kementerian Agama di samping mengurusi tentang hal-hal yang berhubungan dengan masalah keagamaan juga mengurusi pendidikan Islam.
Upaya integrasi ilmu dan agama di Indonesia telah diupayakan oleh para pemikir Muslim dan penentu kebijakan (Kementerian Agama termasuk di dalamnya). Sebagai contoh adanya upaya untuk merubah lembaga pendidikan tinggi Islam (IAIN) menjadi lembaga pendidikan yang tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu agama melainkan juga mempelajari ilmu-ilmu umum, sehingga beberapa IAIN telah dirubah menjadi UIN. Mau tidak mau dalam mata kuliah UIN harus mengandung mata kuliah ilmu pengetahuan umum dan mendirikan fakultas non-agama Islam
Dalam konteks Indonesia, agama bukan lagi hanya merupakan urusan individu (privat) tetapi lebih dari itu agama dan urusan keagamaan juga menjadi bagian dari urusan publik. Agama saat ini tidak hanya dipandang sebagai seperangkat ajaran (nilai), dogma atau  sesuatu yang bersifat normatif lainnya, tetapi juga dilihat sebagai suatu realitas sosial, baik berupa teks, pranata sosial maupun perilaku sosial yang lahir (sebagai perwujudan) dari kepercayaan suci. Oleh karena itu, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sudah selayaknya keberagamaan juga diatur sebagaimana urusan-urusan publik lainnya.
Dari uraian di atas kiranya sudah jelas bahwa Kementerian Agama menjadi bagian dari urusan publik. Kementerian Agama tidak hanya berkutat pada urusan keagamaan belaka, lebih dari itu Kementerian Agama juga mengurusi pendidikan dan hubungan sosial kemasyarakatan.




[*] Mata kuliah ini diampu oleh Prof. Dr. Noeng Muhadjir

Posting Komentar

0 Komentar