Hibah: Sebuah Tawaran Solusi bagi Problematika Hukum Waris Islam

Hibah: Sebuah Tawaran Solusi
bagi Problematika Hukum Waris Islam[1]
Oleh Ahmad Badrut Tamam[2]

A.    Pengantar
Proses hidup manusia secara kodrati berakhir dengan suatu kematian, dan setiap kematian itu bagi makhluk hidup merupakan peristiwa biasa. Sedangkan bagi manusia sebagai salah satu makhluk hidup walaupun kematian merupakan peristiwa biasa akan tetapi justru menimbulkan akibat hukum tertentu, karena suatu kematian menurut hukum adalah merupakan peristiwa hukum.[3] Artinya, apabila ada seseorang yang meninggal dunia, maka segala hak dan kewajiban hukum yang dimiliki selama hidup akan ditinggalkan. Hak dan kewajiban itu pada umumnya, sesuatu yang tidak berwujud atau berwujud dalam bentuk benda bergerak atau benda tidak bergerak, tetapi nasib kekayaan yang berbentuk benda yang tidak bergerak sebagai peninggalan seseorang saat meninggal dunia akan menjadi benda (harta) warisan.
Meskipun ketentuan dalam ayat-ayat al-Qur’an mengenai pembagian warisan sudah jelas, siapa saja yang berhak menjadi ahli waris serta berapa bagiannya masing-masing sudah dirinci, akan tetapi ketentuan tersebut sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat Islam Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Para Hakim di Pengadilan Agama sering menyaksikan, apabila warga muslim meninggal, dan atas permintaan ahli warisnya, Pengadilan Agama memberikan fatwa waris sesuai hukum waris islam atau faraid. Sering kali para ahli waris tidak melaksanakan fatwa waris tersebut, dan pergi ke Pengadilan Negeri untuk meminta agar diberlakukan sistem pembagian yang lain. Sebagian umat Islam menilai bahwa ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam hukum waris Islam (faraid) tidak lagi dapat menyelesaikan masalah yang ada, akan tetapi sebaliknya malah menimbulkan masalah (perselisihan).
Sebenarnya umat Islam tidak perlu berpindah ke sistem hukum lain di luar Islam untuk sekedar menyelesaikan masalah kewarisan (pembagian harta warisan), karena dalam Islam sendiri telah terdapat konsep hibah yang bisa dikembangkan untuk menyelesaikan permasalahan kewarisan tersebut. Bagi orang tua bisa saja membagi hartanya kepada anak-anaknya dan keluarganya atau ahli warisnya yang lain di saat ia masih hidup. Bukankah dengan begitu perselisihan yang terjadi antara ahli waris dapat diminimalisir. Untuk itu makalah ini akan mengkaji korelasi hibah dan kewarisan, serta mencoba untuk menawarkan hibah sebagai sebuah solusi bagi prolematika hukum waris Islam.

B.     Hibah Dalam Perspektif Fiqh Konvensional
Secara etimologi kata hibah adalah bentuk masdar dari kata wahaba,[4] yang berarti suatu pemberian. Sedangkan hibah secara istilah, Jumhur Ulama mendefinisikannya sebagai akad yang yang mengakibatkan pemilikan harta tanpa ganti rugi yang dilakukan seseorang dalam keadaan hidup kepada orang lain secara sukarela. Ulama Mazhab Hanbali lebih detail lagi mendefinisikannya, yaitu pemilikan harta dari seseorang kepada orang lain yang mengakibatkan orang yang diberi boleh melakukan tindakan hukum terhadap harta tersebut, baik harta itu tertentu atau tidak, bendanya ada dan bisa diserahkan. Penyerahannya diserahkan ketika pemberi masih hidup tanpa mengharapkan imbalan.[5]
Dasar hibah dalam Islam adalah firman Allah dan juga hadis Nabi yang menganjurkan kepada umat Islam agar berbuat baik dan saling mengasihi kepada sesamanya. Islam menganjurkan agar umatnya suka memberi karena tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah (memberi lebih baik dari pada menerima). Namun pemberian itu harus ikhlas dan tanpa pamrih, tiada tujuan lain kecuali untuk mencari ridha Allah dan mempererat tali persaudaraan.
Berikut dalil-dalil yang digunakan sebagai dasar Hibah:
1.      Al-Maidah (5): 2.“Tolong menolonglah kamu sekalian atas kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu sekalian tolong menolong atas sesuatu dosa dan permusuhan”.
2.      Al-Baqarah (2): 17. “Dan memberikan harta yang dicintai kepada kerabatnya, anak-anak orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang meminta”.
3.      Hadis Nabi SAW. Dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad SAW bersabda “saling memberi hadiahlah kamu sekalian niscaya kamu akan saling mencintai”. (hadis riwayat Bukhari).

C.    Hibah Dalam Perspektif Perundang-Undangan di Indonesia
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Pasal 171 point g “hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki”.[6] Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1666 juga disebutkan bahwa hibah (Schenking) adalah “Sesuatu persetujuan dengan mana si penghibah di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan suatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.”[7]
Kata “di waktu masih hidup”, mengandung arti bahwa perbuatan pemindahan hak milik itu berlaku semasa hidup. Dan bila beralih sudah matinya yang berhak, maka disebut wasiat. Adapun kata tanpa imbalan atau sukarela, berarti itu semata-mata kehendak sepihak (si pemberi) tanpa mengharapkan apa-apa. Apabila mengharapkan imbalan maka dinamakan jual beli.[8]
Mengenai penghibahan dalam Hukum Perdata Indonesia, telah diatur dalam beberapa pasal yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Adapun ketentuan tersebut adalah :
1.      Pasal 1667 Kitab Undang-undang Hukum Perdata: “Hibah hanyalah dapat mengenai benda-benda yang sudah ada, jika ada itu meliputi benda-benda yang baru akan dikemudian hari, maka sekedar mengenai itu hibahnya adalah batal”.[9]
2.      Pasal 1668 Kitab Undang-undang Hukum Perdata: “Si penghibah tidak boleh memperjanjikan bahwa ia tetap berkuasa untuk menjual atau memberikan kepada orang lain suatu benda termasuk dalam penghibahan semacam ini sekedar mengenai benda tersebut dianggap sebagai batal”.[10]
3.      Pasal 1669 Kitab Undang-undang Hukum Perdata: “Adalah diperbolehkan kepada si penghibah untuk memperjanjikan bahwa ia tetap memiliki kenikmatan atau nikmat hasil benda-benda yang dihibahkan, baik benda-benda bergerak maupun benda-benda tidak bergerak, atau bahwa ia dapat memberikan nikmat hasil atau kenikmatan tersebut kepada orang lain, dalam hal mana harus diperhatikan ketentuan-ketentuan dari bab kesepuluh buku kedua kitab undang-undang ini”.[11]

D.    Korelasi Hibah dan Kewarisan dalam Islam
Hibah adalah pemberian ketika yang punya harta masih hidup, sedangkan warisan diberikan ketika yang punya harta telah meninggal dunia. Walaupun saat pemberiannya berbeda namun keduanya memiliki hubungan yang sangat erat, terutama hibah itu diberikan kepada anak atau ahli waris karena akan menentukan terhadap bagian warisan apabila hibah tersebut tidak ada persetujuan ahli waris atau setidak-tidaknya ada ahli waris yang keberatan dengan adanya hibah tersebut. Oleh karenanya sering terjadi sengketa antara ahli waris, satu pihak berpendapat bahwa hibah yang sudah diberikan berbeda dengan warisan, sedangkan pihak lain (ahli waris yang tidak menerima hibah) menyatakan hibah yang sudah diterima merupakan harta warisan yang sudah dibagi. Oleh karenanya ahli waris yang sudah menerima hibah tidak akan mendapat harta warisan lagi.
Berkaitan dengan masalah tersebut pasal 211 Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah memberikan solusi, yaitu dengan cara hibah yang diberikan orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan. Pengertian “dapat” dalam pasal tersebut bukan berarti imperatif (harus), tetapi merupakan salah satu alternatif yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa warisan. Sepanjang para ahli waris tidak ada yang mempersoalkan hibah yang sudah diterima oleh sebagian ahli waris, maka harta warisan yang belum dihibahkan dapat dibagikan kepada semua ahli waris sesuai dengan porsinya masing-masing. Tetapi apabila ada sebagian ahli waris yang mempersoalkan hibah yang diberikan kepada sebagian ahli waris lainnya, maka hibah tersebut dapat diperhitungkan sebagai harta warisan, dengan cara mengkalkulasikan hibah yang sudah diterima dengan porsi warisan yang seharusnya diterima, apabila hibah yang sudah diterima masih kurang dari porsi warisan maka tinggal menambah kekurangannya, dan kalau melebihi dari porsi warisan maka kelebihan hibah tersebut dapat ditarik kembali untuk diserahkan kepada ahli waris yang kekurangan dari porsinya.[12]
Hibah batal apabila melebihkan satu dengan yang lain, tidak diperkenankan menghibahkan seluruh harta kepada salah seorang anaknya, orangtua haruslah bersikap adil di antara anak-anaknya. Kalau sudah terlanjur dilakukannya, maka harus dicabut kembali. Yang masih diperselisihkan para ahli hukum Islam tentang bagaimana cara penyamaan sikap dan perlakuan terhadap anak-anak itu. Ada yang berpendapat bahwa pemberian itu adalah sama di antara anak laki-laki dan anak perempuan, ada pula yang berpendapat bahwa penyamaan antara anak laki-laki itu dengan cara menetapkan bagian untuk seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan.[13]
Dalam beberapa hadis dikemukakan bahwa bagian mereka supaya disamakan dan tidak dibenarkan memberikan semua harta kepada salah seorang anak saja. Jika hibah yang diberikan oleh orang tua kepada salah satu anaknya melebihi dari ketentuan bagian waris, maka hibah tersebut dapat diperhitungkan sebagai warisan. Sikap seperti ini menurut KHI didasarkan pada kebiasaan yang dianggap positif oleh masyarakat. Sering terjadi apabila pembagian waris yang dilakukan secara tidak adil akan menimbulkan penderitaan bagi pihak tertentu, lebih-lebih kalau penyelesaiannya sampai ke Pengadilan Agama tentu akan terjadi perpecahan keluarga. Sehubungan dengan hal ini Umar bin Khattab pernah mengemukakan bahwa kembalikan putusan itu di antara sanak keluarga saja, sehingga mereka membuat perdamaian, karena sesungguhnya putusan pengadilan itu sangat menyakitkan hati dan menimbulkan penderitaan.[14]
Berdasarkan uraian di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa sesungguhnya hibah harta kepada anak atau ahli waris secara umum diperbolehkan dalam Islam, bahkan sangat dianjurkan. Dengan kata lain, diperbolehkan bagi pemilik harta untuk membagi hartanya kepada anak-anak atau keluarganya sebelum ia meninggal dunia, tentunya dengan berpegang pada prinsip keadilan. Menurut penulis ini akan lebih banyak manfaatnya daripada membagi warisan setelah si pemilik harta meninggal. Dengan pembagian harta ketika si pemberi dan si penerima masih sama-sama hidup, maka konflik (perebutan harta warisan) dapat diminimalisir karena ruang dialog antara pemilik dan para penerima harta masih terbuka lebar, sehingga kalau ada permaslahan dalam hibah tersebut maka musyawarah kekeluargaan pun dapat menjadi sebuah solusi.[15]

E.     Hibah sebagai Solusi Problem Hukum Waris Islam
Hibah yang berarti pemberian memiliki fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat, baik yang diberikan perseorangan maupun lembaga. Cukup banyak riwayat yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW beserta para sahabatnya sering memberi atau menerima sesuatu dalam bentuk hibah.[16] Dalam prakteknya ternyata Nabi Muhammad SAW dan sahabatnya dalam memberi dan menerima hadiah tidak saja hanya di antara sesama muslim saja, akan tetapi juga dari atau kepada orang lain yang berbeda agama, bahkan dengan orang musyrik sekalipun. Nabi Muhammad SAW pernah menerima hadiah dari orang Kisra, dan beliau pernah mengizinkan Umar bin Khattab untuk memberikan sebuah baju kepada saudaranya yang masih musyrik di Mekkah.
Mengingat hibah mempunyai fungsi sosial yang dapat diberikan kepada siapa saja tanpa mengenal ras, agama dan bahkan golongan, maka hibah pun dapat diberikan kepada orang-orang terdekat, seperti anak-anak kandung dan kerabat dekat, sehingga hibah juga dapat dijadikan solusi untuk memecahkan problem hukum waris dewasa ini. Sebagaimana kita ketahui bahwa hukum waris Islam apabila diterapkan apa adanya sesuai dengan ketentuan yang ada dalam kitab-kitab fiqh konvensional masih menyisakan berbagai masalah bila dihadapkan pada realitas sosial masyarakat Indonesia saat ini, ada semacam ketidaksingkronan, bahkan sebagian orang islam merasa tidak adanya keadilan, di antaranya:
1.    Ahli waris non-muslim tidak menjadi ahli waris dari pewaris muslim sehingga tidak akan mendapat harta warisan.
Dalam sebuah hadis} memang dijelaskan bahwa ahli waris non-muslim tidak mewarisi pewaris muslim.[17] Tetapi bagi masyarakat non-muslim di Indonesia yang tunduk kepada hukum adat dan perdata Barat (BW) tidak menjadikan perbedaan agama sebagai halangan untuk saling mewarisi, sehingga apapun agamanya sepanjang dia memiliki hubungan kerabat tetap dijadikan sebagai ahli waris, tanpa kecuali yang beragama Islam, sebagaimana yang selama ini diterapkan di lingkungan Peradilan Umum. Berbeda dengan hukum waris Islam yang selama ini diterapkan di lingkungan Peradilan Agama, ahli waris non-muslim tidak akan mendapat harta warisan dari pewarisnya yang muslim atas dasar hadis di atas. Demikin juga pasal 171 huruf b dan c KHI, menyatakan bahwa pewaris dan ahli waris harus beragama Islam.
Apabila kondisi di atas tetap dipertahankan maka ada semacam ketidakadilan hukum. Al-Qur’an mengajarkan bahwa agar orang tua tidak boleh meninggalkan keluarganya dalam keadaan terlantar, tetapi di pihak lain ketika agama seorang anak berbeda dengan orang tuanya, maka si anak tidak berhak mendapat bagian dari harta peninggalan orang tuanya tersebut. Belum lagi kalau melihat dampak (beban) psikologis yang dapat timbul dari aturan-aturan tersebut. Orangtua kandung mana yang tegah meninggalkan anaknya dalam keadaan miskin, bukannya orangtua bekerja mencari nafkah tujuannya adalah untuk mensejahterakan keluarganya.
Tentunya problem seperti itu perlu dicarikan solusinya agar tidak terjadi ketimpangan. Di antara solusi yang ditawarkan oleh Islam adalah dengan hibah yang harus diberikan oleh orang tua (pewaris muslim) ketika masih hidup kepada ahli warisnya yang non-muslim, agar kegoncangan sosial dalam sebuah keluarga dapat dihindari, apabila pewaris telah terlanjur meninggal dunia, maka pemberian tersebut bisa dalam bentuk wasiat wajibah.
Perlu dicatat bahwa perbedaan agama dalam sebuah keluarga di era modern ini adalah merupakan suatu hal yang lumrah. apakah hal itu karena perkawinan beda agama atau karena salah satu dari keluarga tersebut berpindah agama, dari non-muslim menjadi muslim atau dari muslim menjadi non-muslim, tetapi tidak jarang di antara mereka tetap mempertahankan keutuhan sebuah keluarga dengan tetap saling menghargai dan menghormati.
2.    Masyarakat Indonesia ada cenderung tidak ingin membedakan hak waris anak laki-laki dengan hak waris perempuan.
Hak waris anak laki-laki dan anak perempuan 2 : 1 (2 banding 1) dalam Islam oleh sebagian kalangan dianggap sudah final karena landasan hukumnya qath’i al-wurud dan qath’i ad-dilalah sehingga tidak bisa ditafsirkan lain. Ada juga yang berpendapat bahwa ketentuan 2 :1 belum final karena pada dasrnya tujuan hukum adalah untuk mewujudkan keadilan, namun pemberlakuannya bertahap.  Pada saat Islam datang, penyamaan bagian laki-laki dan perempuan belum memungkinkan. Diakuinya perempuan sebagai bagian dari ahli waris saja adalah suatu perkembangan yang sangat luar biasa karena sebelum datangnya Islam perempuan tidak bisa mewarisi dan bahkan dijadikan sebagai barang yang bisa diwariskan.
Masyarakat muslim Indonesia sendiri cenderung tidak ingin membeda-bedakan pemberian nterhadap anak laki-laki maupun anak perempuan, terlebih lagi dengan derasnya isu kesetaraan gender yang berimplikasi terhadap pembagian harta warisan dengan tidak membeda-bedakan antara hak anak laki-laki dan anak perempuan. Sehubungan dengan itu Munawir Sadzali di era tahun 1980-an dalam rangka aktualisasi hukum Islam, pernah mengungkapkan bahwa banyak kalangan masyarakat muslim yang taat terhadap agamanya membagi-bagikan harta mereka sewaktu masih hidup kepada anak-anaknya tanpa membeda-bedakan bagian anak laki-laki dan perempuan. Hal ini tiada lain hanyalah sebagai bentuk untuk “menghindar” dari sistem bagi waris 2 : 1 yang dianggap tidak mencerminkan keadilan.
Membagi-bagikan harta dengan bentuk hibah sewaktu pewaris masih hidup dengan maksud dan tujuan agar bagian anak laki-laki dan anak perempuan memperoleh bagian yang sama tidak dapat disalahkan, karena hal itu merupakan sebuah alternatif bagi pembagian waris, bahkan ada riwayat dari at-Thabrani dan al-Baihaqi dari Ibnu Abbas, Nabi pernah bersabda:
سوّوا بين أولادكم فى العطية ولوكنت مفضلا احدا لفضّلت النساءa)
Artinya: “Samakanlah pemberian yang kamu lakukan terhadap anak-anakmu, dan sekiranya hendak melebihkan, maka hendaklah kelebihan itu diberikan kepada anak perempuan”.
اتقوا الله واعدلوا بين أولادكمb)
Artinya: “Takutlah engkau kepada Allah dan bersikaplah adil terhadap anak-anak kalian”
Dari hadis} tersebut tampak Nabi memerintahkan bersikap dalam pemberian terhadap anak-anak, kalaupun akan bersikap melebih-lebihkan maka diperintahkan untuk melebihkan pemberian terhadap anak perempuan. Hanya saja mayoritas ulama memandang perintah ini sebagai hal yang sunnah.[18] Ada ulama yang lebih tegas, seperti sayyid sabiq yang menyatakan bahwa tidak boleh melebihkan pemberian antara anak-anaknya, karena itu mengandung usaha menaburkan benih permusuhan dan dapat memutuskan silaturrahmi.[19]
3.    Anak angkat dan orang tua angkat tidak saling mewarisi karena tidak memiliki hubungan kekerabatan.
Dalam Islam anak angkat dan orang tua angkat tidak dapat saling mewarisi berdasarkan Surat al-Ahzab ayat 4 dan 5 anak angkat dan orang tua angkat tidak memiliki hubungan nasab,[20] sehingga tidak memiliki hubungan kekerabatan, konsekuensi dari nash tersebut adalah anak angkat dan orang tua angkat tidak dapat saling mewarisi. Tetapi kenyataanya, dalam kehidupan masyarakat Indonesia hubungan anak angkat dan orang tua angkat tak ubahnya seperti hubungan anak kandung yang memiliki hubungan batin yang amat kuat, orang tua angkat merawat dan menyayangi anak angkatnya tanpa pamrih, sang anak disunatkan (dikhitankan), disekolahkan bahkan dikawinkan oleh orang tua angkatnya, sebaliknya anak angkat rela merawat dan mengurus orang tua angkat di masa tuanya tak ubahnya sebagai bagian dari sebuah keluarga.
Kalau hubungan batin antara anak angkat dengan orang tua angkat demikian kuatnya, tak ubahnya seperti hubungan orangtua dan anak kandung sendiri, maka ketika orang tua angkat meninggal dunia dan anak angkat tidak mendapatkan warisan sedikitpun (karena bukan termasuk ahli waris), ataupun sebaliknya ketika anak angkat meninggal dan orangtua angkatnya tidak dapat mewarisi apa yang ditinggalkan oleh si anak angkat, tentu hal ini akan menimbulkan dampak yang luar biasa bagi kejiwaan. masalah ini merupakan problem tersendiri yang harus dicarikan solusinya agar prinsip keadilan yang dijunjung tinggi oleh Islam itu bisa terwujud dalam setiap produk hukum (aturan) yang ada.  Oleh karena itu sebagai solusinya hendaknya orang tua angkat sewaktu hidupnya memberikan hibah kepada anak angkat tersebut.

F.     Tinjauan Usul Fiqh
Ditinjau dari sisi usul fiqh, hibah sebagai solusi problematika hukum waris sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bisa dikategorikan sebagai mashlahah mursalah, yaitu mengambil manfaat dan menolak kemadharatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’. Manfaat yang didapat dari penerepan hibah di sini adalah tercapainya prinsip keadilan, sedangkan madharat yang ditolak adalah terjadinya perselisihan dan putusnya hubungan shilaturrahmi. Atau bisa juga dikategorikan sebagai ‘urf  karena praktek hibah kepada ahli waris (pembagian harta sebelum meninggal) dan juga praktek pemberian bagian yang sama kepada anak laki-laki dan perempuan tersebut sudah menjadi kebiasaan mayoritas umat Islam di Indonesia. Lagi pula hal tersebut juga tidak bertentangan dengan dalil-dalil syara’.

G.    Penutup
Hukum waris Islam apabila diterapkan apa adanya sesuai dengan ketentuan yang ada dalam kitab-kitab fiqh konvensional masih menyisakan berbagai masalah bila dihadapkan dengan realitas sosial masyarakat Indonesia saat ini, ada semacam ketidaksingkronan seperti, tidak bolehnya saling mewarisi apabila antara pewaris dan ahli waris berbeda agama, adanya perbedaan bagian antara laki-laki yang dianggap tidak mencerminkan keadilan (2 : 1), dan tidak bisanya anak angkat mewarisi harta peniggalan orantua angkatnya. Tentunya problem seperti itu perlu dicarikan solusinya agar tidak terjadi ketimpangan.
Hukum Kewarisan Islam memiliki daya adaptasi yang relatif cukup tinggi dalam kaitannya dengan perkembangan sosial dalam masyarakat. Penyebab adanya adaptabilitas yang relatif cukup tinggi itu dikarenakan pada sistem hukum kewarisan Islam di samping telah ada ketentuan-ketentuan nash qath’i, juga karena jumlah nash qath’i itu sendiri hanya sedikit dan hanya mengatur hal-hal yang pokok. Oleh karena itu dalil-dalil tentang waris tersebut harus ditafsirkan ulang dengan melihat konteks yang ada saat ini (kontekstualisasi), dengan demikian prinsip-prinsip keadilan yang terkandung di dalamnya bisa terwujud.
Hibah sebagai sebuah pemberian yang dilaksanakan ketika si pemberi dan si penerima masih dalam keadaan hidup, bisa saja dijadikan sebagai sebuah solusi untuk memecahkan problematika hukum kewaisan Islam saat ini. Ketika ahli waris non-mislim tidak dapat mewarisi harta pewaris muslim, maka dengan hibah ia bisa mendapatkan bagian, ketika dalam faraid wanita merasa didiskriminasikan karena mendapat bagian lebih kecil dari laki-laki maka dengan hibah ia bisa mendapat hak yang sama, ketika anak angkat tidak bisa mewarisi harta orangtua angkatnya, maka dengan hibah pula ia bisa mendapatkan bagian harta.
Islam adalah agama yang rahmatan li-al’alamin (rahmat bagi seluruh alam) dan shalihun li kulli zaman wa makan (selalu sesuai dengan setiap ruang ruang dan waktu). Untuk mencapai itu maka dibutuhkan kontekstualisasi prinsip-prinsip yang terkandung dalam teks-teks suci agama.

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, cet, ke-1, Jakarta: Akademika Pressindo, 1992
Dahlan, Abdul Azis, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid II, cet. ke-1, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996
Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata, Jakarta Sinar Grafika, 2006.
Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Materiel Dalam Praktek Peradilan Agama, Jakarta: Pustaka Bangsa Press, 2003.
Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, cet. ke-14, Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997.
Ramulyo, M. Idris, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Waris Islam dengan Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2000.
Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, Jilid III, cet. ke-4, Beirut: Dar al-Fikr, 1983.
Subekti, R. dan R. Tjitrosudibyo, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, cet ke-25, Jakarta: Pradnya Paramita, 1992.
Syarifudin, Amir, Pelaksana Hukum Waris Islam dalam Lingkungan Minangkabau, Jakarta: Gunung Agung, 1985.
Zainuddin, Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia, Jakarta Sinar Grafika, 2008.
Zuhaili, Wahbah az-, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz 5, Beirut: Da>r al-Fikr, 1985.


[1] Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu: Topik-Topik Epistemologi, dosen pengampu Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir.
[2] Penulis adalah ahasiswa program Magister (S2) Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Program Studi Hukum Islam, Konsentrasi Hukum Keluarga, angkatan 2010.
[3] M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Waris Islam dengan Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hlm. 2.
[4] Ahmad Warson munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, cet. ke-14 (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 1584.
[5] Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, cet. ke-1 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), II : 540.
[6] Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, cet, ke-1 (Jakarta: Akademika Pressindo, 1992), hlm. 156.
[7] R. Subekti dan R. Tjitrosudibyo, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, cet ke-25 (Jakarta: Pradnya Paramita, 1992, hlm. 365.
[8] Amir Syarifudin, Pelaksana Hukum Waris Islam dalam Lingkungan Minangkabau (Jakarta: Gunung Agung, 1985), hlm. 252.
[9] R. Subekti dan R. Tjitrosudibyo, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, hlm. 365.
[10] Ibid.
[11] Bab kesepuluh dari Buku kedua Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang dimaksud itu adalah bab yang mengatur tentang hak pakai hasil atau nikmat hasil. Sekedar ketentuan-ketentuan itu telah dicabut, yaitu mengenai tanah, dengan adanya Undang-Undang Pokok Agraria (UU No. 5 Tahun 1960), tetapi ketentuan-ketentuan mengenai barang yang bergerak masih berlaku. Ibid., hlm. 95.
[12] Ali Bungasaw dalam H. Zainuddin, Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia (Jakarta Sinar Grafika, 2008), hlm. 25.
[13] Ibid., hlm. 185-186.  Menurut sebagian fuqaha’, sesungguhnya penyamaan itu bukan hal yang wajib dilaksanakan, tetapi sifatnya sunnah saja. Mereka menyatakan bahwa hadis| yang menyatakan perlunya penyamaan anak-anaknya dalam pemberian hibah adalah lemah, demikian juga hadis| yang menyatakan bahwa pemberian semua harta yang berbentuk hibah kepada anak-anaknya yang berkelakukan tidak baik atau nakal. Pendapat yang mewajibkan menyamakan pemberian pada anak-anaknya dan larangan pemberian semua harta berupa hibah kepada anak-anaknya adalah pendapat yang kuat. Oleh karena itu, jika dalam hal pemberian hibah itu tidak sesuai dengan ketentuan ini, maka hibahnya adalah batal.
[14] M. Yahya Harahap mengemukakan bahwa penyelesaian sengketa melalui perdamaian jauh lebih efektif dan efisien. Itu sebabnya pada masa belakangan ini, berkembang berbagai cara penyelesaian sengketa (settlement method) di luar pengadilan, yang dikenal dengan Alternative Dispute Resolution (ADR), dalam berbagai bentuk, di antaranya: 1) mediasi (mediation) melalui sistem kompromi (compromise) di antara para pihak, sedang pihak ketiga yang bertindak sebagai mediator hanya sebagai: penolong (helper), dan fasilitator. 2) konsiliasi (conciliation) melalui konsiliator (conciliator), pihak ketiga yang bertindak sebagai konsiliator berperan merumuskan perdamaian (konsiliasi), tetapi keputusan tetap di tangan para pihak. Lebih lanjut baca M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (Jakarta Sinar Grafika, 2006), hlm. 236.
[15] Sesuai dengan kaidah fiqh yang berbunyi درء المفاسد مقدم على جلب المصالح (mencegah suatu kerusakan harus lebih didahulukan daripada mendatangkan suatu kemaslahatan).
[16] Salah satunya adalah hadis dari Aisyah, Ia berkata: “adalah Rasulullah SAW itu (sering) menerima hadiah dan (sering pula) membalas hadiah (HR. Bukhari).
[17] Hadis tersebut berbunyi لايرث المسم كافرا ولاالكافر مسلما (Tidak mewarisi seorang muslim terhadap orang non-muslim, (demikian juga) tidak mewarisi orang non-muslim terhadap orang muslim). Para ulama sepakat bahwa non-muslim tidak bisa mewarisi harta muslim, tetapi mereka berbeda pendapat dalam hal non muslim yang mewarisi harta muslim, sebagian ada yang berpendapat boleh dan sebagian yang lain sebaliknya.
[18] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (Beirut: Dar al-Fikr, 1985), V: 34.
[19] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, cet. ke-4 (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), III: 388.
[20] وما جعل أدعياءكم أبناءكم (dan Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu). ادعوهم لابائهم (Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka)

Posting Komentar

1 Komentar

  1. If you need help or are having issues together with your commenting account, please 온라인 카지노 e-mail us at A rollover, or playthrough, is the a number of} of a bonus that you should complete in order to to} collect your bonus money. Some casinos with the most effective bonus are Vulkan Vegas casino, GG Bet casino and 888 casino.

    BalasHapus
Emoji
(y)
:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)