Catatan Akhir Kuliah Bersama Prof. Dr. Amin Abdullah

Catatan Akhir Kuliah
bersama Prof. Dr. H.M. Amin Abdullah[1]
Oleh Ahmad Badrut Tamam [2]

A.    Lesson learn perkuliahan
Foto bersama Prof. AA
Perkuliahan pendekatan dalam pengkajian Islam ini memberikan kontribusi yang signifikan dan sangat berarti bagi perkembangan pemikiran para mahasiswa, khususnya penulis. Banyak hal baru yang didapatkan oleh penulis dari perkuliahan ini, terutama dalam masalah-masalah keagamaan.
Lesson learn (pelajaran) paling penting dari perkuliahan ini adalah agama seharusnya tidak hanya dipandang sebagai seperangkat ajaran (nilai), dogma atau  sesuatu yang bersifat normatif lainnya, akan tetapi juga harus dilihat sebagai suatu case study (studi kasus) yang menarik, bagaimana agama dilihat sebagai obyek kajian untuk diteliti. Dalam perspektif  budaya, agama dilihat bagaimana sesuatu yang ilahi itu menghistoris di dalam praktek tafsir dan tindakan social, sehingga dengan demikian agama bukannya sesuatu yang untouchable, namun sesuatu yang dapat diobservasi dan dianalisis karena perilaku keberagamaan itu dapat dilihat dan dirasakan. Meminjam bahasa yang dipakai Amin Abdullah, agama tidak lagi hanya dapat dilihat dari sudut  dan semata-mata terkait dengan normativitas ajaran wahyu, tetapi ia juga dapat dilihat dari sudut dan terkait erat dengan historisitas pemahaman dan interpretasi orang atau kelompok terhadap norma-norma ajaran agama yang dipeluknya, serta model-model amalan dan praktek-praktek ajaran agama yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam kaitannya agama sebagai obyek penelitian, pada tahap yang paling awal memang harus disadari benar bahwa penelitian agama sebagai suatu usaha akademis yang berarti menjadikan agama sebagai sasaran penelitian. Secara metodologis agama haruslah dijadikan sebagai suatu fenomena yang riil, betapa pun mungkin terasa agama itu abstrak. Dari sudut pandang tersebut, maka barangkali dapat dirumuskan 5 (lima) kategori agama sebagai fenomena yang menjadi subject matter penelitian, yaitu: teks-teks keagamaan (scripture), agama sebagai sebuah produk pemikiran (thought), agama sebagai produk interaksi sosial (social interaction), agama dalam bentuk institusi-institusi keagamaan, dan agama dalam bentuk simbol-simbol keagamaan (tools/merchandise).
Bagi penulis sendiri pendekatan-pendekatan yang ditawarkan dalam perkuliahan ini semakin memperkaya intelektualitas penulis dalam keilmuan Islam. Secara tidak langsung perkuliahan ini telah memperbaiki kacamata penulis dalam memandang dan memahami agama-agama khususnya agama Islam dengan berbagai pendekatan. Dalam pendekatan fenomenologi misalnya dijelaskan bahwa dalam studi agama terdapat dua aspek yang harus dibedakan, yaitu apa yang disebut dengan general pattern dan particular pattern. General pattern adalah sesuatu yang pasti ada pada setiap agama, di luar kemampuan pemeluknya, seperti: kepercayaan, ritual, teks suci, leadership, history serta konstitusi, dan morality, inilah yang disebut dengan fundamental structure dari agama. Seorang peneliti harus bersifat obyektif dalam mengkaji hal tersebut. Ketika general pattern tersebut dirinci maka lahirlah apa yang dinamakan particular pattern. Setiap agama memiliki particular pattern yang berbeda, misalnya dalam hal kepercayaan Islam mempunyai konsep tauhid sedangkan Kristen berpegang konsep pada trinitas, dalam hal ibadah Islam mempunyai sholat sedangkan Kristen mempunyai kebaktian. Dalam menilai particular pattern ini peneliti lebih banyak bersifat subyektif karena berhubungan langsung dengan keyakinan dirinya.
Tidak hanya sebatas pendekatan-pendekatan dalam bentuk konsep yang umum saja, akan tetapi perkuliahan ini juga memberikan contoh kongkrit pendekatan tersebut dengan mengkaji pemikiran tokoh-tokoh muslim kontemporer, seperti William Graham, Earle H. Waught, Frederik M. Denny, Marilyn R. Waldman Richard M. Eaton, Andrew Rippin, Abdur Ra’uf Howard M. Federspiel, Fazlur Rahman, Atho’ Muzhar, Josep Van Ess, Amina Wadud, Abdullah Ahmed an-Naim, dan Khaled Abou el-Fadl. Pemikiran tokoh-tokoh tersebut telah mencakup beberapa aspek dalam studi Islam, baik itu studi Islam yang sudah ada sejak era klasik seperti: tafsir, hadits, kalam, maupun studi Islam yang paling mutakhir seperti maslah gender, hak asasi manusia (HAM), dan hermeneutika. Paling pemikiran-pemikran yang disajikan itu sudah cukup dijadikan bekal untuk meneliti bidang-bidang yang akan ditekuni oleh masing-masing mahasiswa, tentunya dengan pengembangan-pengembangan yang signifikan.

B.     Relevansi Mata Kuliah Ini dengan Mata Kuliah yang Lain
Dilihat dari metode penelitian yang digunakan, sangat bergantung pada obyeknya, sebab obyeklah yang menentukan metode dan bukan sebaliknya. Obyek yang bersifat berkaitan dengan fakta ajaran yang diyakini pemeluknya sebagai sesuatu yang sakral, yang berupa ajaran atau doktrin didekati dengan pendekatan filsafat, filologi, dan teologi, termasuk di dalamnya ilmu-ilmu agama seperti ilmu tafsir, ilmu hadi>s|, ilmu kalam, ilmu akhlak dan tasawuf. Obyek yang bersifat empiris seperti teks kitab suci, fenomena keberagamaan, struktur dan dinamika masyarakat beragama dikaji dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial, seperti sejarah, sosiologi, antropologi, dan psikologi.
Mata kuliah ini mempunyai relevansi yang sangat erat dengan mata kuliah yang lain. Namanya saja “pendekatan dalam pengkajian Islam”, yang berarti mata kuliah ini adalah tentang tentang dasar-dasar yang bisa digunakan untuk mengkaji suatu permasalahan dari sisi-sisi tertentu. Pendekatan-pendekatan yang ditawarkan dalam mata kuliah ini sangat relevan untuk  diterapkan dalam mata kuliah hukum perkawinan dan perceraian di dunia Islam dan mata kuliah studi al-Quran dan al-Hadis.
Mata kuliah ini juga erat kaitannya dengan mata kuliah flsafat ilmu: topik-topik epistemology yang diampu oleh Prof. Noeng Muhadjir, paling tidak keduanya saling mengisi. Ada satu pendekatan yang terdapat pada mata kuliah ini yang kemudian diperdalam dalam satu mata kuliah tersendiri yaitu pendekatan sejarah sosial. Jadi, pada initinya semua mata kuliah yang terdapat dalam semester satu ini saling terkait karena memang semuanya masih berkutat dalam masalah metodologi penelitian.

C.    Relevansi Mata Kuliah Ini dengan Problem Kemasyarakatan
Isu-isu yang bernuansa agama bermunculan dewasa ini, bermuara pada “pertikaian politik idiologis” yang ingin memberikan maksud dan tujuan sepihak terhadap perumusan dan pengambilan keputusan fatwa-fatwa. Susahnya lagi, penafsiran dan keputusan itu terus berubah hingga sesuai dengan keinginan dan kepentingan politiknya. Lebih tampak dari pertikaian penafsiran tersebut tentang kekuasaan, gender (persoalan perempua), pensekatan dan “kekerasan” ideologi, kepemimpinan perempuan, partai Islam, kekuasaan negara Islam, keharusan hukum Islam dan kekafiran. Isu-isu tersebut dipertahankan dengan menggunakan teks-teks hukum Islam klasik yang sebenarnya telah berhenti berabad-abad silam dengan tanpa melakukan pengkajian secara metodologis yang akurat. Maka yang terjadi bukan mendapatkan solusi, melainkan bentuk penjajahan baru terhadap manusia atas nama hukum Islam, yang dalam hal ini Tuhan.
Ketegangan yang paling menonjol adalah hubungan yang menggelisahkan antara otoritas-teks dan konstruksi-teks yang bersifat otoriter. Apa yang disuarakan sang penafsir lalu dianggap dan diterima sebagai "suara Tuhan" sendiri. Kata Khaled Abou el-Fadl, para tokoh agama tidak lagi berbicara tentang Tuhan, melainkan berbicara "atas nama Tuhan", atau bahkan menjadi "corong Tuhan” itu sendiri. Seorang author menafikan penafsir atau reader lain. Ia menganggap tafsirnya sendiri lah yang paling benar, pemahaman orang lain dianggap salah, bahkan sesat. Bila muncul reader-reader yang lain, maka terjadilah perdebatan hingga sikap-sikap otoriter, seperti halal darahnya, murtad, kafir, wajib dibunuh, diusir dan lain-lain. Kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah di Cikesik dan pengrusakan terhadap gereja-gereja di temangugung baru-baru ini adalah salah satu contoh kongkrit problem keagamaan tersebut.
Jika teks memegang peran penting dalam kehidupan, maka harus dipelihara adanya dinamika proses penentuan makna secara “demokratis”. Makna tidak boleh digenggam, dicengkram dan ditentukan terlebih dahulu secara sepihak oleh salah satu atau beberapa aktor yang membelakanginya. Perimbangan kekuasaan dalam penentuan makna perlu terus menerus dijaga dan dipelihara antara pengarang, pembaca dan teks. Apabila terjadi dominasi yang berlebihan dari salah satu pihak, akan menyebabkan kebuntuhan intelektual (intellectual stagnation).
Untuk menyelesaikan problem-problem keagamaan dan intellectual stagnation tersebut, maka diskursus terhadap hukum Islam sebagai sebuah epistemologi dan metodologi penelitian harus dihidupkan kembali, studi Islam harus digiatkan kembali. Semangat berijtihad harus dibumikan kembali. Menurut Amin Abdullah, ada dua pilar utama yang dapat dimanfaatkan untuk membangkitkan kembali semangat ijtihad atau keterbukaan untuk tidak membelenggu dinamika pemikiran Islam, yaitu pilar normativitas dan pilar historisitas. Pertama, pilar normativitas diperoleh dari teks al-Qur’an (surat Yusuf: 76) yang menyatakan “wa fauqa kulli dzi ‘ilmin alim” (di atas setiap orang yang merasa pandai, mesti ada orang lain yang lebih pandai lagi). Ayat ini dengan jelas menunjukkan tidak ada finalitas dalam beragama. Kedua, diperoleh dari historisitas praktik budaya intelektual muslim. Suatu prasa yang selalu ditulis pada akhir tulisannya “wa Allahu a’lam bi as-sawab” (Dan Allah yang lebih mengetahui yang terbenar). Kalimat atau ungkapan ini bernuansa hermeneutic. Perlu penafsiran dan pemaksanaan baru, karena penulis yang menggunakan prasa ini, sikap dan intelektualnya masih juga cenderung otoriter-angkuh. Kalimat ini juga menunjukkan bahwa setiap keputusan hukum yang diklaim pasti oleh pembuatnya sesungguhnya belum tentu dapat memenuhi rasa keadilan pemohonnya.[3]
Dengan demikian, agama seharusnya tidak hanya dipandang sebagai seperangkat ajaran (nilai), dogma atau  sesuatu yang bersifat normatif lainnya, tetapi juga dilihat sebagai suatu case study, studi kasus yang menarik bagaimana agama dilihat sebagai obyek kajian untuk diteliti. Dalam perspektif  budaya, agama dilihat bagaimana sesuatu yang ilahi itu menghistoris (menyejarah) di dalam praktek tafsir dan tindakan sosial, sehingga dengan demikian agama bukannya sesuatu yang tak tersentuh (untouchable), namun sesuatu yang dapat diobservasi dan dianalisis karena perilaku keberagamaan itu dapat dilihat dan dirasakan. Harus disadari benar bahwa pengkajian atau studi terhadap agama sebagai suatu usaha akademis yang berarti menjadikan agama sebagai sasaran penelitian. Secara metodologis agama haruslah dijadikan sebagai suatu fenomena riil yang mampu disentuh oleh kreativitas dengan dimensi sosiologis-antropologis-psikologis manusia., betapa pun mungkin terasa agama itu sangat abstrak. Ikhtiar dan usaha untuk keluar dari kemelut yang kompleks ini (problem keberagamaan) perlu terus menerus diupayakan demi tegaknya peradaban manusia yang lebih baik dan santun di masa yang akan datang.

D.    Kritik dan Saran
Sebagian besar literatur-literatur primer yang digunakan dalam mata kuliah ini adalah buku-buku yang berbahasa inggris. Hal tersebut menjadi problem tersendiri bagi sebagian mahasiswa yang kemampuan bahasa inggrisnya masih pas-pasan. Ditambah lagi bahasa inggris yang dipakai adalah bahasa-bahasa ilmiah, tentunya ini semakin menambah tingkat kesulitan dalam memahami buku-buku tersebut. Semoga dengan diterjemahkannya buku yang disunting oleh Richard C. Martin yang sudah diterbitkan oleh Suka Press dapat mengurangi problem tersebut serta dapat memudahkan mahasiswa dalam memahaminya. Akan tetapi kami tetap berharap, semoga ada usaha-usaha selanjutnya untuk menerjemahkan buku-buku primer lainnya yang digunakan sebagai rujukan mata kuliah ini, seperti buku karya Amina Wadud yang berjudul Inside The Gender Jihad, Women Reform in Islam, tulisan Josef Van Ess yang berjudul The Logical Structure of Islamic Theology, dan lain-lain.
Dalam menyampaikan materi, dosen lebih banyak menggunakan metode diskusi dan ceramah interaktif. Untuk membangun mainset pada mahasiswa tentang materi perkuliahan yang sedang diikuti, dosen menggunakan metode asking question. Metode-metode yang digunakan oleh dosen tersebut menurut saya sudah bagus karena mampu membuat mahasiswa aktif terlibat dalam proses pembelajaran, namun pada saat memberikan materi dengan berbagai metodenya dosen nampaknya lupa jika dosen harus senantiasa memotivasi dan mensupport mahasiswanya. Menurut penulis motivasi dan support dari dosen sangat diperlukan oleh mahasiswa sehingga saya berharap dosen juga mampu memberikan materi dengan metode yang bisa membuat mahasiswa termotivasi untuk belajar lebih lanjut.

E.     Penutup
Banyak sekali manfaat yang penulis dapatkan dari perkuliahan ini yang bisa penulis rasakan dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari. Penulis berharap agar ilmu yang telah diberikan bernilai amal yang barokah, yang kemanfaatannya bisa dirasakan oleh semua pihak. Demikian, semoga review perkuliahan ini mampu memberikan kontribusi untuk meningkatkan mutu perkuliahan pendekatan dalam pengkajian Islam di masa-masa mendatang.


[1] Tulisan ini disusun guna memenuhi tugas akhir semester mata kuliah Pendekatan dalam Pengkajian Islam, dosen pengampu Prof. Dr. H.M. Amin Abdullah.
[2] Mahasiswa program Magister (S2) Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Program Studi Hukum Islam, Konsentrasi Hukum Keluarga, angkatan 2010.
[3] Amin Abdullah, “Pendekatan Hermeneutik dalam Studi Fatwa-fatwa Keagamaan, Proses Negosiasi Komunitas Pencari Makna Teks, Pengarang, dan Pembaca”. Pengantar dalam Khaled Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan: dari Fiqh Otoriter ke Fiqh Otoritatif, alih bahasa Cecep Lukman (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004), hlm. xv.

Posting Komentar

1 Komentar

Emoji
(y)
:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)