Khilafah menurut Abdul Madjid Sharfi

KEKHILAFAHAN DALAM SEJARAH UMAT ISLAM AWAL
(STUDI PEMIKIRAN ABDUL MADJID SHARFĪ)
Oleh Ahmad Badrut Tamam*
A.   Pengantar
Kalau literatur-literatur kajian Islam yang ada saat ini diamati atau dicermati kembali dengan seksama, maka akan tampak bahwa: pertama, sebagian besar pemikiran Islam yang ada saat ini adalah bentuk pengulangan-pengulangan terhadap pemikiran yang sudah ada sebelumnya, kedua, ada kalanya literatur-literatur itu dimanfaatkan untuk mengusung ideologi tertentu, dan ketiga, literatur-literatur tersebut hanya mencakup bagian-bagian tertentu saja dari Islam yang tentunya tidak bisa mencakup Islam secara keseluruhan.[1]
foto bersama Prof. Dr. Machasin, M.A.
Melihat fakta-fakta tersebut, Abdul Madjid Sharfī merasa terpanggil untuk melakukan ijtihad (penelitian). Sharfī tidak menaruh perhatian kepada peristiwa-peristiwa sejarah secara khusus, walaupun apa yang terjadi pada kaum Muslimin setelah wafatnya Rasulullah, sepanjang masa pemerintahan khilafah rasyidah dan awal masa kekuasaan Bani Umawy masih sangat memerlukan kajian kritis. Alasannya karena informasi-informasi terkait masa yang mengiringi masa kenabian di satu segi tidak mencakup semua hal yang terjadi dan di lain segi terpengaruh oleh pertikaian-pertikaian yang di dalamnya kadang terseret secara positif dalam bentuk dukungan dan penolakan atau kadang dalam bentuk negatif, dalam bentuk setuju atau diam. Yang akan dijelaskan oleh Sharfī dari balik peristiwa-peristiwa itu adalah untuk menjawab pertanyaan berikut: Jika yang dikatakan tentang hakekat missi Muhammad adalah benar, mengapa kaum Muslim generasi awal tidak menerapkannya?, Mengapa para Sahabat, Tabi’in dan generasi yang mengikuti jalan mereka mengadopsi penyelesaian yang kelihatannya kurang atau bahkan tidak memuaskan?.[2]
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Sharfī memakai metode-metode yang berkembang di era modern. Alasan Sharfī menerapkan metode-motode modern itu dalam studi Islam adalah karena fakta bahwa Islam bukanlah agama mati, yang dipelajari seperti sebuah objek di museum. Islam adalah agama yang hidup, yang dipahami dan dipraktekkan oleh generasi-generasi terdahulu sesuai dengan pengetahuan dan keadaan historis mereka saat itu. Selain itu, umat Islam di masa sekarang ini merasa bahwa inilah sesungguhnya perhatian missi Islam. Mereka meneliti hal tersebut untuk menjawab atas pertanyaan mereka sendiri dan tidak terhadap pertanyaan lainnya. Mereka berharap bahwa ini akan menawarkan solusi yang memadai, dan tanpa tekanan yang berlebihan.[3]
B.   Sekilas Tentang Biografi Abdul Madjid Sharfī
Abdul Madjid Sharfī (1942-…) adalah seorang pemikir yang berasal dari Tunisia. Ia berkerja sebagai Profesor Kebudayaan Arab dan Pemikiran Islam di Fakultas Adab, Univeritas Manouba Tunisia. Di antara karya-karya beliau yang populer adalah sebagai berikut:
1.  al-fikr al-Islāmī fi ar-Radd ‘alā Nas}ārā (Pemikiran Islam tentang Penolakan terhadap Orang-Orang Nasrani)(Tunisia: ad-Dār at-Tūnīsiyyah, 1986).
2. al-Islām wa al-Hadās|ah (Islam dan Modernitas) (Tunisia: ad-Dār at-Tūnīsiyyah, 1990).
3.      Labināt (Kontribusi-Kontribusi) (Tunisia: ad-Dār al-Janūb, 1994).
4.  Tah}s| al-Fikr al-Islāmī (Pembaruan Pemikiran Islam) (Casablanca:Le Fennec, 1998).
5.    al-Islām Baina ar-Risālah wa at-Tārīkh (Islam antara Risalah dan Sejarah) (Beirut: Dār at}-t}alī’ah li at}-t}abā’ah wa an-nasyr, 2001).[4]
Abdul Madjid Sharfī adalah perintis dalam pengertian yang sepenuhnya dari istilah perintis ini. Saat ini Sharfī menampilkan dirinya sebagai orang terdepan dalam kritik yang sedang berjalan dan juga sebagai seorang pembaru dalam pemikiran Islam. Sharfī telah membentuk sebuah generasi baru peneliti yang yang mengabdikan diri pada sebuah disiplin yang menggabungkan pencarian historis yang cermat dengan sebuah etika tanggung jawab ilmiah yang sangat ketat dan teliti. Sharfī sendiri telah memberikan contoh-contoh (teladan) melalui perjalanan intelektualnya, karena telah melakukan pendekatan-pendekatan baru berkenaan dengan tradisi keagamaan kaum muslim seraya memobilisasi alat-alat konseptual dan metode-metode kritik ilmu kemanusiaan. Mula-mula Sharfī membuat semacam ikhtisar proses-proses yang melaluinya konsep-konsp dominan di kalangan umat Islam terkristalisasi lalu membeku (suntingan kritis terhadap karya-karya klasik tentang polemik dengan orang-orang Kristen dan sejarah kontroversi dalam pemikiran Islam kontemporer). Selanjutnya Sharfī bekerja untuk mengidentifikasi kemandekan-kemandekan pokok yang dialami oleh umat Islam pada masa sekarang ini dan membuat sketsa visi-visi yang bertujuan untuk menggerakkan kembali pesan dari teks-teks suci, melaui kritik ketat terhadap tradisi keilmuan dan sikap-sikap yang dilahirkannya.[5]
C.   Suksesi Kepemimpinan dalam Islam Pasca Wafatnya Nabi Muhammad
Nabi Muhammad SAW adalah pemimpin keagamaan dan pemimpin politik sekaligus. Ia adalah Nabi yang terakhir (khatam al-anbiyā’) dan tidak mungkin ada Nabi sepeninggal beliau. Dengan demikian, posisi sebagai pemimpin keagamaan setingkat Nabi tidak mungkin ada yang meneruskan, akan tetapi sebagai pemimpin politik setingkat kepala negara dapat saja digantikan dan diteruskan oleh sahabat-sahabat beliau. Pertanyaan yang muncul kemudian, siapa yang menggantikan beliau sebagai pemimpin politik, apa syaratnya, dan bagaimana tata-cara pemilihannya?.[6]
Menurut Sharfī, secara teoritis terdapat beberapa kemungkinan yang dapat menggambarkan situasi sosial dan politik yang nyata sesaat setelah wafatnya nabi Muhammad:[7]
1.  Tidak mungkin lagi kembali ke sistem seperti yang ada di Hijaz sebelum datangnya Islam karena missi Islam telah menciptakan situasi baru di Hijaz dan Semenanjung Arab. Itulah sebabnya mengapa pembentukan beberapa jenis peraturan central menjadi tak terelakkan dan kemungkinan Suku Quraisy memainkan peran yang sentral dalam kehidupan politik setelah wafatnya Nabi sangat besar, karena status mereka di antara orang Arab, masa lalu mereka, dan kuatnya ekonomi mereka.
2.   Penerapan missi oleh kaum kaya Quraisy yang pada awalnya menolak itu, juga tampak tidak mungkin. Namun demikian, jalannya peristiwa menunjukkan bahwa bani Umayyah sebenarnya mengadopsi missi, sekali waktu mereka telah melemparkan kerudung atas masa lalu mereka, dan kebutuhan akan pengalaman administrasi, kekuatan ekonomi, dan kemampuan bermanuver mereka dalam kekaisaran yang luas yang beragam ras dan konflik kepentingan yang muncul.
3.  Analisis yang sama berlaku untuk kemungkinan ketiga, yaitu kembali ke “sistem s}ah}īfah  (perjanjian non-religius antara imigran Mekkah dan penduduk Madinah, bani ‘Aus, bani Khazraj) atau yang lebih dikenal dengan “piagam madinah”. Sesungguhnya aturan ini adalah bagian dari sesuatu yang dikehendaki oleh sekelompok kecil umat Islam awal sebelum adanya perintah untuk mengusir orang-orang yahudi dan menaklukkan kota Mekkah serta masuknya suku-suku Arab dalam Islam. Namun, ketika kelemahan umat Islam telah berubah menjadi sebuah kekuatan, dengan prinsip-prinsip Islam yang telah diterapkan di banyak bidang dan hubungan serta kerjasama keagamaan menjadi dasar bagi keharmonisaan sosial, maka sistem s}ah}īfah ini tidak lagi dibenarkan.
4.   Peristiwa saqīfah (pertemuan diselenggarakan di tempat pertemuan bani sa’īdah setelah wafatnya Nabi Muhammad) menunjukkan bahwa kemungkinan terjadinya “perang saudara” di antara umat Islam telah terbukti. Pada pertemuan tersebut, kaum Muhajirin berpendapat bahwa yang lebih berhak menjadi peminpin umat Islam pasca wafatnya Nabi Muhammad adalah orang dari suku Quraisy. Begitu pula dengan kaum Anshar, mereka berpendapat kaum Anshar lah yang berhak memimpin. Lebih jauh mereka kemudian sepakat dengan pembagian kekuasaan, seorang pemimpin dari Muhajirin dan seorang pemimpin dari Anshar. Akan tetapi tanpa diduga Umar menciptakan sebuah kejutan, setelah menempatkan semua orang pada suasana yang pas dan mengambil keuntungan dari persaingan bani ‘Aus dan Khazraj, dengan cekatannya dan tindakan yang tiba-tiba ia menyatakan janji kesetiaannya (bai’at) kepada Abu Bakar, kemudian para sahabat yang lain pun menyetujuinya dengan harapan tidak ada perpecahan di antara umat Islam.[8]
5.   Kemungkinan kelima adalah kekhilafahan jatuh ke tangan ahl al-bait yang dalam hal ini diwakili oleh Ali dan Abbas. Dalam keadaan demikian, dilaksanakan penggabungan pemerintahan dalam satu sistem yang saling bertentangan, yaitu antara kekuasaan simbolik yang diwakili oleh sistem kekerabatan kepada Nabi dan kekuasaan temporal yang merupakan kebalikannya. Karakter Ali mungkin dianggap sebagai calon yang paling cocok, tetapi tampaknya ada keengganan pada kombinasi tersebut, karena hal ini akan menciptakan kekuatan yang akan sangat sulit untuk ditentang dalam hal apapun. Orang-orang Arab juga tidak terbiasa dengan sistem kekuasaan semacam ini, mereka menganggap hal tersebut tidak ada dalam agama. Walaupun kemungkinan yang satu ini tidak terjadi, tapi paling tidak dari sini kemudian muncul kelompok yang dikenal gigih mendukung pencalonan Ali, yaitu Syi’ah. Ini bisa dimengerti mengingat dalam suku Quraisy, bani Hasyim dan bani Umayyah adalah dua klan terhormat. Ali merupakan pemuda bani Hasyim yang terhormat, mengingat Hamzah telah wafat dan Abbas baru masuk Islam, disamping itu Abu Sufyan dari bani Umayyah juga baru masuk Islam. Jadi dari silsilah itu seharusnya, jika al-aimmah min Quraisy difahami secara lahiriah maka hanya Ali bin Abu Thalib yang berhak menduduki jabatan khalifah. Tapi ada juga yang menolak argumen ini. M. A. Shaban melihat Ali yang masih sekitar tiga puluh tahunan tidak mungkin diterima umat, jadi jika logika diatas diteruskan maka sebenarnya Abu Sufyan yang harus jadi khalifah. Untuk menghindari ini maka diambilah Abu Bakar sebagai jalan tengah, Ia adalah suku Quraisy tapi bukan bani Hasyim dan juga bukan bani Umayyah. [9]
Dari beberapa kemungkinan tersebut ada satu kemungkinan yang kemudian menjadi kenyataan, manfaat dari kelemahan yang kemudian menjadi alternatif lain. Terpilihnya Abu Bakar juga dikarenakan unsur-umur, pengalaman, dan unggulnya kepribadian yang memainkan peran menentukan dalam tugas kekhalifahan dari Nabi kepada Abu Bakar sesuai dengan tradisi suku. Posisi Abu Bakar di antara umat Islam membuat pesaingnya sangat sulit untuk meremehkannya, dan juga karena partisipasinya dalam dewan Quraisy (Nadwa), sebuah lembaga yang menjadi embrio dari negara Arab, dengan itu semua dijamin dia mendapat dukungan dari kalangan kaya Suku Quraisy. Selain karena kedekatan dengan Nabi, kewibawaan dan faktor-faktor lainnya, Abu Bakar juga dipilih karena dia berasal dari kabilah Taim, sebuah  yang kurang berpengaruh. Pemilihan itu didasarkan atas asumsi bahwa dengan tampilnya Abu Bakar yang notabene dari kabilah Taim yang kecil dan kurang berpengaruh, kedengkian kabilah yang lebih besar seperti bani Umayyah dari kalangan Muhajirin dan Khazraj dari kalangan Anshar menjadi tidak beralasan. [10]
Dalam konteks ini, Sharfī kemudian menarik dua kesimpulan. Kesimpulan pertama, bahwa dalam proses pemilihan Abu Bakar, pertimbangan keagamaan seakan-akan benar-benar tidak ada. Kesenioritasan dan posisinya sebagai imam shalat selama Nabi sakit, hanya disebutkan kemudian untuk pembenaran. Selain itu, pernyataan kekhalifahan di dalam teks (tans}īs}) yang dibesar-besarkan oleh kalangan Sunni, sejatinya hanya untuk menanggapi klaim Syi’ah tentang ke-imamah-an Ali. Memilih seorang pemimpin adalah murni masalah duniawi, kebutuhan penting akan itu dikarenakan oleh kekosongan posisi penguasa yang pernah diduduki Muhammad. Ini hanyalah sebuah penerapan hukum sosial dimana setiap masyarakat baik kecil atau besar membutuhkan adanya pemimpin untuk mencegah terjadinya kekacauan dan gangguan dalam kehidupan masyarakat yang teratur. Dengan demikian, sejak masa Abu Bakar, Islam yang pada mulanya muncul dalam suatu lingkungan yang tanpa negara, telah menyatu dengan negara sedemikian rupa sehingga keberadaan Islam tidak lagi bisa berlangsung tanpa adanya negara. Perkembangan ini tentu saja telah dilakukan dengan cara konservatif baik dari sejarah dan vitalitas dari missi Islam itu sendiri.[11]
Kesimpulan kedua, bahwa pengangkatan Abu Bakar ke posisi (seperti para khalifah, raja, pangeran, dan sultan yang datang setelah dia) bukan suatu hal yang umum bagi semua umat islam saat itu. Pengangkatan itu tidak berpengaruh kecuali hanya bagi para pemimpin dan pemegang kekuasaan, seperti dijelaskan dalam ah}kām sult}āniyyah, mereka adalah ahl al-h}all wa al‘aqd. Penguasa tidak bisa memerintah, jika ahl al-h}all wa al‘aqd tidak mendukung dan menerima otoritasnya. Ini berarti bahwa semenjak Nabi wafat, rasa kesetaraan antara semua umat Islam mulai memudar. Nilai-nilai yang telah ada sebelum itu muncul kembali, menghalangi semangat revolusioner agama baru. Dengan kata lain, sebuah sistem pemilihan demokratis, seperti yang kita mengerti dewasa ini, adalah tidak terbayangkan karena berada di luar cakrawala mental umat Islam pada saat itu. Sistem demokrasi merupakan produk kemajuan yang dialami umat manusia baru-baru ini saja, yaitu dalam dua atau tiga abad terakhir.[12]
Persoalan suksesi terkait dengan agama tapi hanya sejauh bagaimana agama bisa digunakan untuk pembenaran (justifikasi). Prinsip-prinsip agama yang tersembunyi menunggu situasi yang tepat, sehingga mereka bisa datang ke depan dan terwujud dan hidup dalam realitas sejarah. Jika dalam perkembangannya shūrā hanya terbatas pada sejumlah kecil orang yang kemudian dibatasi lebih jauh lagi, lalu hampir dihapuskan oleh suksesi turun-temurun dan naiknya anak yang kuat, hal ini tidak terjadi melalui Islam. Sebaliknya, agama digunakan untuk melegitimasi dan membenarkan sistem pemerintahan dan standar kesadaran keagamaan, seperti dalam semua sistem yang berkuasa ditentukan oleh sejauh mana sistem menanggapi prinsip missi kenabian dan dimana agama didasarkan. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa standar ini telah berubah dan berkembang, dan bahwa pada abad kedua puluh satu hubungannya dengan sistem politik berbeda drastis dengan apa yang ada pada abad ketujuh.[13]
D.  Hak Asasi Manusia: Missi Islam Yang Terabaikan
Ada dua bidang utama dalam kehidupan sosial dan budaya  yang menurut Sharfī juga mengalami hal yang sama dengan masalah kekhilafahan, yaitu sama-sama dialihkan dari semangat missi Islam. Kedua bidang tersebut terkait dengan nilai kemanusiaan dan nilai luhur al-Quran.
Bidang pertama adalah masalah perbudakan. Meskipun fenomena perbudakan sekarang menjadi sesuatu dari masa lalu, tapi ini tidak menghalangi kita untuk mempertanyakan kembali alasannya, mengapa umat Islam selama berabad-abad memperbudak saudara-saudara mereka?, mengabaikan panggilan wahyu?. Al-Qur'an dengan jelas telah menyatakan bahwa Allah menghormati semua manusia tanpa membed-bedakan, karena itu budak harus dibebaskan. Dengan demikian, seharusnya dalam prakteknya, Islam telah dapat menghapus perbudakan secara menyeluruh. Perlu juga diperhatikan bahwa tidak ada situasi apapun yang menyebutkan bahwa dibolehkan memperbudak satu manusia oleh manusia yang lain, baik dalam perang maupun dalam damai. Namun, “penaklukan” yang dilakukan umat Islam awal telah menciptakan sumber baru bagi perbudakan, dengan kepemimpinan Arab yang menggunakan laki-laki untuk semua jenis tugas berat dan mengeksploitasi perempuan tanpa belas kasihan mengakibatkan logika dari missi yang bertujuan pendekatan bertahap dan realistis terhadap situasi yang ada itu terlupakan, dan perbudakan muslim ditangani dengan cara non-Muslim atau dengan cara yang dipakai pada era pra-Islam (Jahiliyyah) atau bahkan lebih buruk. Pada tingkat ini, keserakahan duniawi mencegah penterjemahan yang konsisten terhadap missi, dan umat Islam pun kehilangan kesempatan untuk menjadi yang pertama dalam menyerukan hak-hak asasi manusia dan menerapkannya di hadapan semua bangsa di dunia yang pada saat itu melihat tidak ada kesalahan dalam beberapa orang yang kurang mendapatkan kebebasan. Paling-paling, para ahli hukum waktu itu ghanya mendesak umat Islam untuk memperlakukan budak dengan baik dengan banyak cara yang sama seperti mereka menyerukan hak-hak hewan.[14]
Bidang kedua adalah masalah perempuan. Dalam hal ini umat Islam juga tidak ada pembaruan, dimana gagasan inferioritas perempuan sudah mendarah daging sejak zaman kuno. Perbedaan jenis kelamin selalu dijadikan persamaan untuk kelemahan dan kejahatan. Selain itu, bahkan fenomena yang murni psikologis seperti menstruasi dianggap oleh kebanyakan orang Arab sebagai tanda kontaminasi (kerusakan) perempuan sepanjang masanya. Akibatnya, dia tidak diizinkan duduk di dekat makanan orang lain dan bahkan bisa isolasi. Bukankah dia diciptakan dari tulang rusuk Adam yang membungkuk?, Bukankah dia orang yang menggoda dia untuk makan dari pohon, yang merupakan dosa pertama dan alasan adam dijatuhkan dari langit?. Al-Qur'an tidak termasuk dalam dua mitos yang disebutkan dalam Kitab Kejadian (bible). Hal ini menegaskan bahwa semua manusia diciptakan dari semangat yang sama, dan Allah menciptakan perempuan yang dengan adanya perempuan itu seorang laki-laki akan menemukan kedamaian pikiran. Al-Qur’an juga menyatakan dengan jelas bahwa rayuan itu oleh setan dan bukan Hawa, dan Allah pun telah mengampuni Adam, sehingga dia terbebas dari dosa. Namun, daripada merenungkan Al-Qur'an, umat Islam lebih suka bersaing satu sama lain dengan mengacu pada Israiliyyat dalam upaya untuk mengumpulkan dukungan bagi pandangan suku mereka tentang perempuan, dan untuk menginterpretasikan “dengan otoritas tidak diturunkan oleh Allah”, dengan cara menghapus semua perbedaan penting antara missi Muhammad dan pernyataan ahl al-Kitāb tentang masalah ini.[15]
Umat Islam gagal untuk naik ke tingkat tujuan kemuliaan missi dan gagal dalam menyadari bahwa karakteristik keistimewaan Islam adalah berdirinya nilai-nilai yang memecahkan obligasi serta warisan yang berlaku. Lebih buruk lagi, mereka membayangkan Islam sesuai dengan keinginan mereka, kebutuhan, dan kepentingan, sampai menjadi persamaan dengan penindasan perempuan, degradasi, dan menjadi pembatas di rumah di balik tembok tebal. Akibatnya, Islam menjadi ikut bertanggung jawab dalam merampas hak-hak paling dasar dari perempuan, seperti hak untuk bekerja dan belajar, dan digunakan untuk menciptakan identitas tidak stabil yang berusaha untuk mengekspresikan diri dengan memaksa gadis-gadis muda yang tertipu untuk memakai kerudung. Di sini juga umat Islam kehilangan kesempatan untuk menjadi pelopor dalam mengakui kesetaraan mutlak antara laki-laki dan perempuan. Perampasan perempuan dari beberapa hak-hak mereka (yang mereka telah mampu lakukan hanya dalam beberapa negara-negara Muslim) telah dicapai bertentangan dengan keinginan umat Islam, bukan dengan bantuan mereka seperti yang seharusnya terjadi, mereka telah benar-benar memahami logika yang lebih dalam dari missi.[16]
E.  Faktor-Faktor di Balik Penyimpangan Missi Islam
Penyimpangan missi yang dilakukan oleh umat Islam generasi awal mengakibatkan missi Islam yang dibawa oleh Muhammad terabaikan., Hal ini kemudian mendorong Sharfī untuk menyelidiki faktor-faktor yang menyebabkan penyimpangan-penyimpangan ini.
1.      Faktor Budaya
Di antara faktor yang paling dominan mempengaruhi penyimpangan missi Islam adalah faktor budaya, seperti kebiasaan mental pra-Islam (Jahiliyyah)[17] yang tetap bertahan baik di Arab sendiri atau di umat Islam dari ras lain yang berpegang pada budaya dan agama yang berlaku di daerah taklukkan oleh Islam. Mereka memeluk agama baru dengan tidak memulai dengan yang bersih, tapi membawa pendapat sendiri, sentimen, dan nilai-nilai. Mereka memahami missi dan menginterpretasikan apa yang baru dan asli dalam teks baru dengan mengacu pada cara adat berpikir mereka. Dengan demikian, dalam banyak hal, mereka diproyeksikan pada keprihatinan Islam yang asing, bahkan bertentangan dengan semangat dan tujuannya. Selain itu, pengetahuan generasi umat Islam pertama terhadap alam dan hukum-hukumnya, manusia dan psikologinya, serta masyarakat dan aturan yang memainkan peran penting dalam pemahaman mereka terhadap ajaran agama mereka, yang saat itu pada kesucian tertentu, sangat sulit menghilangkan atau mengatasi pengetahuan yang berlangsung, mengembangkan pengetahuan baru dan membatalkan tahap yang sebelumnya.[18]
Salah satu fenomena sosial yang menggejala di Arab menjelang kelahiran Islam adalah apa yang dikenal dengan ayyām al-‘Arab (hari-hari orang Arab). ayyām al-‘Arab Merujuk pada permusuhan antar suku yang secara umum muncul akibat persengketaan hewan ternak, padang rumput atau mata air. Persengketaan itu menyebabkan seringnya terjadi perampokan dan penyerangan, memunculkan sejumlah pahlawan lokal, serta menghasilkan perang sya’ir yang penuh kecaman. Meskipun selalu siap berperang, orang badui tidak serta berani mati, mereka bukanlah manusia haus darah seperti yang dikesankan oleh kisah-kisah. Ayyam al-‘Arab merupakan cara alami untuk mengendalikan jumlah populasi orang-orang badui, yang biasanya hidup semi kelaparan, dan telah menjadikan peperangan sebagai jati diri dan watak sosial. Berkat ayyām al-‘Arab itulah pertarungan antar suku menjadi salah satu institusi sosal keagamaan dalam kehidupan mereka.[19]
Diakhir abad ke-5, suku Quraisy di Mekkah yang saat itu di bawah komando Qusay mulai terlibat perdagangan dengan kaum-kaum dan negara-negara di luar Mekkah. Mereka menggabungkan dagang dengan peternakan meskipun masih dikelola secara tradisional dalam budaya masyarakat nomaden. Mereka menuai keberhasilan perdagangan berkat Ka’bah dan posisi strategis Mekkah.[20] Selama abad ke-6, Mekkah di bawah kepemimpinan suku Quraisy menjadi satu kekuatan yang diperhitungkan di kawasan Arabia. Suku Quraisy netral dalam mensikapi perseteruan Romawi dan Persia, dan mereka tetap menjaga hubungan baik dengan keduanya. Sampai dengan abad ke-7 mereka menjadi sangat kaya berlipat-lipat dibanding gaya hidup nomaden sebelumnya, sampai-sampai mereka memandang kekayaan, kapitalisme, dan pemenuhan material menjadi satu-satunya tujuan hidup. Namun  pada sisi lain, hal tersebut menumbuhkan gaya hidup hedonis yang menyuburkan keserakahan dan individualisme.[21] Budaya dan gaya hidup seperti inilah yang kemudian muncul kembali setelah Nabi wafat.
2.     Faktor Politik
Faktor lainnya adalah faktor yang bersifat politis dan yang berkaitan dengan ketetapan dalam mengatur urusan sekelompok orang dalam lingkungan tertentu. Ketika sistem suku berlaku di Semenanjung Arab, setiap orang yang dituntut bertanggung jawab atas urusan masyarakat Islam dan para penguasa yang diangkat tidak bisa diharapkan untuk menciptakan sebuah pendekatan baru yang belum diketahui oleh orang Arab. Itulah sebabnya empat khalifah rasyidah dan raja-raja bani Umayyah yang awal berperilaku seperti pemimpin suku sebagaimana yang telah meraka lakukan, meskipun fakta menunjukkan bahwa kekuasaan mereka diperluas untuk hal-hal yang berbeda dalam jenis dari apa yang telah jatuh di bawah aturan suku, dan untuk wilayah yang jauh lebih besar daripada di mana suku biasanya akan berada. Hal ini juga menunjukkan bahwa ikatan darah sangat penting dalam etika suku, dan kepentingan mereka terhadap suku itu tetap tidak berkurang di bawah kekuasaan Islam, dengan non-Arab yang diingkari hak dan hak istimewa yang dinikmati oleh orang Arab. Dengan demikian, Umat Islam asli Arab merebut posisi politik dan militer tertinggi di kekaisaran yang baru lahir, sedangkan kelompok Mawali (budak yang dimerdekakan) dan semua muslim yang bukan asli Arab pada umumnya tidak dilibatkan. Kebencian mereka itu membuat mereka menjadi mangsa yang mudah bagi setiap gerakan pemberontak yang bercita-cita untuk mengambil kekuasaan. Itu juga alasan mengapa mereka (Persia khususnya) memelihara tendensi “populisme” sebagai reaksi terhadap pengecualian ini. Demikian pula, banyak non-Arab dikecualikan (Persia lagi khususnya) yang nantinya akan berusaha untuk lebih unggul atas Arab dalam bidang-bidang seperti ilmu-ilmu-agama, bahasa, dan lain-lain yang danggap rendah oleh orang Arab. [22]
Faktor politik lainnya adalah yang berhubungan dengan tuntutan pembangunan Negara. Negara hanya dapat didirikan dengan seperangkat institusi, biarpun primitif dan sederhana, dan tidak dapat bertahan kecuali diarahkan dan dipandu berdasarkan aturan dan standar yang telah disepakati oleh para penguasa, walaupun itu hanya secara implisit. Jadi, wajar bahwa lembaga-lembaga dan standar dalam perangkat dipinjam dari pengalaman yang mendahului Islam. Namun, karena pengalaman yang bersifat terbatas dan ketidakseimbangan di dalam sebuah kerangka kerja, bercampurnya ras dengan budaya yang berbeda, dan melampauinya sistem suku dengan perangkat yang sederhana, maka perlu untuk menyuntik mereka dengan pengalaman negara-negara tetangga, seperti berurusan dengan pembantu dan agen, uang dan pajak, dan pertanahan atau properti lainnya. Dengan demikian, perjalanan kekaisaran yang baru lahir membutuhkan dīwān ‘atā untuk mencatat nama-nama debitur dan hutang mereka, yang mana memori saja tidak bisa mempertahankan. Kemudian, register serupa dikirim ke tentara, layanan pos dan konstruksi, dan semua layanan serta perangkat lain yang diperlukan untuk setiap aturan central. Tidak ada satupun organisasi ini yang membuat umat Islam untuk merasa butuh pada pertimbangan-pertimbangan keagamaan, melainkan mereka terpaksa melakukan percobaan- percobaan yang mengarah pada adaptasi sistem yang sudah ada dan inovasi yang dipelihara oleh keadaan sosial yang berbeda. Namun, lembaga yang didirikan oleh manusia akan selalu dibenarkan oleh mereka yang memperoleh manfaat darinya serta dari orang-orang yang tunduk kepada mereka. Ketika mereka ada dalam dukungan otoritas yang dicari, dan sumber dukungan yang murni tersebut pada waktu itu adalah agama. Kita dapat dengan aman berasumsi bahwa motivasi keputusan politik umat Islam itu lebih praktis daripada missi Islam, bahkan jika pada waktu itu tampaknya mendekati prinsip-prinsip dari missi Muhammad.[23]
3.     Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi juga memainkan peranan yang signifikan dalam penyimpangan umat Islam generasi awal dari missi di tingkat interpretasi serta pelaksanaan praktis. Sebab, hampir semua penduduk semenanjung Arab, Badui dan para urban (dengan pengecualian para pedagang besar Mekkah) menderita kemiskinan karena iklim lingkungan mereka dan kurangnya sumber daya alam. Begitulah kondisi mereka sebelum Islam, dan tetap demikian selama kepemimpinan Nabi Muhammad dan Abu Bakar. Namun, setelah Umar Bin Khattab menjadi khalifah, ia menyadari bahwa cara terbaik untuk mengatasi antagonisme di antara para pengikut agama baru dan permusuhan yang dihasilkan dari “perang saudara” yang menyibukkan adalah dengan mengalihkan energi konflik menuju musuh eksternal. Meskipun ini adalah solusi klasik dalam kasus seperti itu, akan tetapi tindakan cepatnya mengandalkan unsur kejutan, terbukti berhasil melampaui semua harapan, dan yang lebih mengejutkan lagi adalah mereka bisa menaklukkan dua kekuatan besar, Persia dan Bizantium. Keduanya tidak mengantisipasi dan terancam oleh orang Arab yang dikenal dengan struktur sosial mereka yang terfragmentasi. Mereka tidak mengakui perubahan radikal yang disebabkan oleh Islam, baik di tingkat psikologis atau pada tingkat obligasi agama, yang mengatasi semua ikatan suku. Ketepatan yang menakjubkan dan relatif mudah dengan yang penaklukan selama pemerintahan Umar berlangsung, yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah. Suriah dan Mesir disita dari kekuasaan Bizantium, dan kekaisaran Persia di Irak, Persia benar-benar diberantas. Adapun yang membedakan penaklukan yang dilakukan umat Islam dengan orang-orang dari Alexander Agung yang menyerbu wilayah luas adalah bahwa pengaruh umat Islam tetap bertahan setelah kematian Umar. Ia bahkan tidak memudar ketika aturan dilewatkan ke penerusnya. Kemenangan terus berlanjut di Afrika, khususnya di Maroko, Semenanjung Iberia, dan Eropa Selatan, selama hampir satu abad keseluruhan.[24]
Sejauh yang bersangkutan dengan penelitian ini, khususnya yang berkaitan dengan faktor ekonomi, paling tidak ada dua isu utama yang timbul sehubungan denganpenaklukan” yang dilakukan umat Islam.
a.     Ganīmah
Masalah pertama adalah barang jarahan diperoleh sebagai hasil dari invasi ke negara-negara yang kaya dalam sumber daya alam, kerajinan, industri, dan peradaban kuno, yang melampaui apa yang mereka harapkan atau yang bisa impikan di semenanjung miskin mereka.[25] Akibat langsung dari itu  adalah munculnya kelas kaya baru, terdiri dari kepala rumah Quraisy yang mengorganisir dan memimpin penaklukan, dan sejumlah individu yang berdiri di antara para pembantu. Seperti yang bisa diharapkan, “harta, emas, dan perak yang telah ditolak oleh missi, tumbuh drastis. Ini memprovokasi perlawanan Abu Dhar al-Ghifari dan orang-orang seperti dia lainnya yang merasa tersinggung oleh ketidaksetaraan di antara umat Islam. Sebab, sebagian kecil dari mereka memiliki tanah yang subur dan luas yang menghasilkan kekayaan besar, yang tampak jelas di rumah besar mereka, pakaian mahal mereka, banyaknya budak, persediaan ternak mereka, dan aspek lain dari gaya hidup mereka. Mereka itu seperti Abdurrahman bin Auf, Zubair bin Awwam, dan Thalhah bin Ubaidillah. Pada saat yang sama, mayoritas orang Arab dan non-Arab yang telah memeluk Islam tinggal dalam situasi ekonomi sulit dan tidak menikmati yang dihasilkan dari penaklukan atau manfaat lainnya, seperti sebagai sumbangan, tanah, bagian dalam pengembangan sarana perdagangan, atau penghasilan yang diperoleh dari memegang jabatan pemerintahan di berbagai daerah kekhalifahan.[26]
Namun, efek dari penaklukan telah melampaui masalah keuangan dan menciptakan pola pikir utilitarian atau lebih tepatnya melestarikan mentalitas pra-Islam dari Quraisy yang kaya, di mana pada akhirnya berujung pada pembenaran. Selain itu, kestabilan penaklukan, hubungan sosial didirikan atas perlindungan, ketaatan, dan ketundukan yang lemah pada yang kuat, sehingga mengingkari hubungan yang berdasarkan kesetaraan dan keadilan yang Islam mencoba untuk memperkenalkannya. Dan karena sisi kebalikan dari ketaatan adalah penolakan dan pemberontakan, maka tidak akan mengherankan jika benih-benih gerakan pemberontak dan separatis yang telah menandai sejarah Islam sejak masa pemerintahan Usman telah ditaburkan pertama kali di periode tersebut. Semua ini memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap teori hukum di kemudian hari, skolastik dan moral yang disusun oleh sarjana untuk mengadopsi nilai-nilai Persia dan memohon kehidupan pada Chosroes (raja Persia), seolah-olah tidak ada perbedaan antara mereka di satu sisi dan missi dengan tuntutan agamanya di sisi lain. Selanjutnya, tata cara ketaatan (niz}ām at-tā’a) adalah untuk memiliki pengaruhnya pada pendidikan sosial, karena generasi Muslim telah terbiasa untuk tunduk kepada kehendak orang lain daripada mengembangkan nilai-nilai saling menghormati dan etika kebebasan dan tanggung jawab, yang akan memimpin mereka untuk mentaati aturan sosial secara rela, selama aturan-aturan ini bisa diubah dengan cara-cara demokratis.[27]
b.    “Jihad” Atas Nama Tuhan
Isu kedua yang menarik terkait dengan faktor ekonomi sebagai penyebab penyimpangan adalah tentang legitimasi penaklukan mereka sesuai dengan logika missi. Ini mungkin terasa aneh bahkan untuk menyebutkan masalah ini, karena umat Islam di beberapa negara yang diserang telah datang untuk mempertimbangkan apa yang terjadi pada nenek moyang mereka sebagai tindakan kasih karunia yang tercerahkan dan menuntun mereka dari kesalahan yang membutakan mereka ke jalan yang benar. Sharfī tentu saja tidak mengangkat masalah ini dari perspektif itu, tapi hanya bertanya-tanya apakah invasi Arab dari negara-negara yang bersangkutan, dengan para penyerbu yang memenjarakan para pria, mengambil perempuan sebagai selir, dan pemanfaatan sumber daya alam, adalah Jihad dalam pengertian Qur'an?, atau hanya sebuah kebutuhan militer untuk membangun Kekaisaran mereka dengan dalih penyebaran Islam?. Dengan kata lain, apakah missi agama perlu kekerasan untuk membimbing orang?.[28]
Ada beberapa pandangan mengenai motif pergerakan umat Islam di semenanjung Arab ke berbagai pelosok dunia. Para ulama, sebagaimana terungkap dalam sejumlah literatur Arab, menafsirkan bahwa gerakan umat Islam itu sepenuhnya merupakan gerakan keagamaan dan tidak dilandasi oleh motif ekonomi. Sedangkan kebanyakan orang Kristen melontarkan hipotesis bernada miring dengan menggambarkan orang Islam Arab membawa al-Qur’an di tangan kiri dan pedang di tangan kanan. Orang yahudi dan Kristen di luar Semenanjung mengemukakan, yang lebih disukai oleh penakluk adalah pajak. Para sarjana kritis lainnya menyatakan bahwa motif penaklukan adalah masalah ekonomi. Al-Baladhuri sebagaimana dikutip oleh Philip menyatakan bahwa saat massa untuk menyerang Suriah, Abu Bakar menulis surat kepada penduduk Islam Arab, yang berisi seruan untuk ikut dalam “perang suci”, dorongan untuk berjihad dan memperoleh rampasan perang dari orang-orang Yunani. Sebuah bait dalam hamāsah karya Tammam sebagaimana dikutip Philip menegaskan hal itu: “Bukan, bukan surga yang kalian kejar, wahai orang Nomad. Tapi aku yakin, kalian berhasrat mendapat roti dan kurma.[29]
Secara sekilas dan singkat pada peta dunia Islam menunjukkan bahwa sekitar tiga perlima dari semua umat Islam tinggal di  beberapa Negara (termasuk Indonesia, Cina, dan bagian besar dari India dan Afrika) yang memeluk Islam tanpa kekerasan, melalui perdagangan, sarjana, dan adopsi cara-cara Sufi. Hal ini menurut Sharfī jelas menunjukkan bahwa Islam tidak memerlukan kekerasan untuk menyebar, dan bahwa perang yang dilancarkan oleh kaum Muslim periode pertama melawan tetangga mereka ternyata termotivasi oleh kepentingan duniawi murni, daripada mengacu pada perang dalam hal obyektif seperti pendudukan, invasi, atau imperialism, sebagaimana mungkin dipahami di zaman modern. Mereka menganggap hal itu sebagai Jihad” atas nama Allah, dimana mereka dieksekusi oleh  kehendak-Nya dan mengikuti ajaran Nabi-Nya. Dengan kata lain, penaklukan Muhammad itu dipahami sebagai invasi ofensif dari jenis yang sama seperti yang dilakukan oleh umat Islam setelah kematiannya. Analogi ini diberikan terhadap tindakan mereka sebagai sebuah legitimasi tidak akan pernah diperoleh mereka sebaliknya. Itulah sebabnya mengapa sikap seperti itu dari Sufyan as-Sauri, yang berpendapat bahwa “pertempuran kafir itu tidak wajib kecuali mereka mulai pertama, tapi kemudian itu akan menjadi wajib,” dianggap aneh dan tidak diterima oleh para ahli hukum maupun oleh politisi.[30]
Penyebaran Islam yang tidak disertai kekerasan dan eksploitasi, mungkin akan mengambil nada yang berbeda dan lebih positif dan membuat dampak yang lebih besar dan lebih dalam, dengan ketergantungan yang kurang pada negara, pemerintah, lembaga-lembaga hisbah (intervensi negara), dan terorisme intelektual atau bahkan fisik. Dengan mengatakan ini, Sharfī tidak ingin memutar mundur sia-sia ke dalam sejarah atau duduk dalam penilaian atas nenek moyang kita, melainkan untuk menguduskan sejarah manusia dan mengenali baik kebajikan dan kesalahan, tanpa berlebihan, mistifikasi dan kebingungan.
F.   Analisis dan Kritik
Tidak dapat dipungkiri bahwa peristiwa-peristiwa yang terjadi pada generasi Muslim awal dengan segala konsekuensinya, terutama semenjak wafatnya Nabi, sangat membebani masa depan Islam. Saat itu mereka harus menghayati iman mereka dan melanjutkan kehidupan umat tanpa kehadiraan seorang Nabi. Fakta historis menunjukkan bahwa saat itu mereka kehilangan akal karena tidak punya aturan untuk menghadapi keadaan itu, karena itu maka faktor-faktor politiklah yang paling dominan, misalnya dalam pemilihan Abu Bakar sebagai pengganti Nabi, jelas tidak ada pertimbangan keagamaan di dalamnya.demikian pula dalam hal perluasan negara melalui penaklukan, bukanlah sebuah tindakan keagamaan, melainkan juga poltik. Bahkan pada saat itu juga terjadi perubahan missi Islam atau pesan awal dan memberikan boot khusus pada penafsiran-penafsiran tertentu, maka yang terjadi adalah ada dua bidang yang sejak awal tak gercerahkan oleh isi pesan Al-Qur’an, yaitu masalah perbudakan dan kedudukan perempuan.
Hal yang perlu dicatat dari zaman generasi muslim awal tersebut adalah bahwa pada saat itulah terjadi tranformasi-transormasi mendalam pada tingkatan praktek-praktek yang diajarkan Islam. Ritus-ritus dikosongkan dari isinya dan pada saat yang sama terjadi perluasan nyata dari ritualisme. Al-Qur’an hanya dipergunakan sebagai sumber untuk perintah-perintah wajib. Hadis dinaikkan ke tingkat wahyu jenis lain. Kumpulan hadis dianggap sebagai sumber ilmu pengetahuan dan para perawinya dianggap sebagai guru-guru yang tak tebantahkan. Pada saat yang sama, banyak potensi yang tidak dapat diaktualisasi, seperti potensi orang-orang yang menganggap tidak perlu ada hukum agama (istilah sekarang “sekuler”), mereka yang mempunyai pemikiran yang tidak sejalan dengan pemikiran penguasa, dipinggirkan, ditekan, diasingkan ,dan kemudian dilupakan.
Dengan menyatakan fakta historis, Sharfī tidak menyangkal bahwa mereka yang melakukan “penaklukan” percaya bahwa mereka telah  melakukan hal yang benar dan mereka hanya memenuhi apa yang Nabi sendiri telah tetapkan untuk dilakukan. Sharfī juga tidak menyangkal bahwa banyak dari umat Islam generasi awal mengorbankan hidup mereka dan harta mereka untuk Allah semata, bercita-cita hanya untuk hadiah atau balasan di akhirat kelak. Namun demikian, ini tidak harus mengaburkan sisi lain, dan sesungguhnya motif tersembunyi di balik penaklukan yang jelas menyimpang dari tujuan missi dengan pemberian “jihad” dalam bentuk ofensif dan kekerasan, bersamaan dengan korupsi yang terbawa, superioritas di atas kebebasan beragama dan persuasi dengan cara terbaik.
Pandangan-pandangan Sharfī di atas perlu diberi apresiasi yang besar. Ia banyak memberikan ide-ide yang jarang atau bahkan belum pernah dilontarkan oleh pemikir-pemikir lainnya. Ia mencoba untuk melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda, yaitu dengan melakukan analisis-kritis yang berangkat dari fakta-fakta sejarah yang telah ada. Ia mencoba menjelaskan fakta hstoris sebagaimana adanya dan dengan cara seobyektif mungkin. Namun demikian, ada beberapa hal dari pandangan-pandangan Sharfī tersebut yang perlu diberi catatan kritis, terutama tentang perbudakan dan kedudukan perempuan.
Pernyataan Sharfī ketika menganalisis perbudakan dan posisi perempuan, yang menyatakan bahwa umat Islam generasi awal gagal untuk naik ke tingkat tujuan kemuliaan missi di satu sisi dapat dibenarkan karena memang begitulah kenyataan sejarah, tapi agaknya statemen itu terlalu berlebihan. Sharfī tidak melihat dari sisi betapa sulitnya merubah suatu budaya yang sudah tumbuh subur, mengakar dan telah  mendarah daging di masyarakat Arab saat itu. Mustahil untuk bisa mengubah secara total budaya tersebut dalam sekejap, perubahan membutukan proses dan waktu. Dan karena itulah syari’at Islam datang secara bertahap, seperti munculnya ayat-ayat tentang perbudakan adalah dalam rangka mengantisipasi keadaan zaman jahiliyyah yang menjadikan budak sebagai lambang kekayaan individu.
Al-Qur’an tidak berbicara sebab-sebab yang melegalkan perbudakaan, tetapi sebaliknya seluruh ayat tentang perbudakan dalam al-Qur’an bertujuan untuk menghapus perbudakan. Namun, dalam kenyatannya al-Qur’an tidak secara drastis dapat mengubah kondisi perbudakan yang sudah menjadi tradisi yang mapan tersebut. Al-Qur’an berusaha secara bertahap dan sistematis menghapus sistem perbudakan melaui berbagai syariatnya. Misalnya, bagi orang yang men-z}ihar isterinya, hukuman yang pertama adalah memerdekakan budak (an-Nisā’: 92). Apabila seseorang melanggar sumpahnya sendiri, maka hukuman pertama yang dikenakan adalah memerdekakan budak (al-Mā’idah: 98). Bagi orang yang melakukan hubungan suami isteri di siang hari pada bulan ramadhan, hukuman pertamanya adalah memerdekakan budak (hadis dari Abu Hurairah).
Dalam tradisi Arab, kondisi perempuan menjelang datangnya Islam bahkan lebih memprihatinkan. Perempuan di masa jahiliyah dipaksa untuk selalu taat kepada kepala suku dan suaminya. Mereka dipandang seperti binatang ternak yang bisa dikontrol, dijual atau bahkan diwariskan. Dalam dunia Arab jahiliyah juga dikenal tradisi tidak adanya batasan laki-laki dalam mempunyai isteri. Kepala suku berlomba-lomba mempunyai isteri sebanyak-banyaknya untuk memudahkan membangun hubungan famili dengan suku lain. Sudah menjadi kebiasaan kepala suku mempunyai tujuh puluh sampai sembilan puluh isteri. Tidak sampai di situ, Arab jahiliyah juga terkenal dengan tradisi mengubur bayi perempuan hidup-hidup dengan alasan hanya akan merepotkan keluarga dan mudah ditangkap musuh yang pada akhirnya harus ditebus, hal ini bahkan terekam jelas dalam al-Qur’an (an-Nah}l: 57-59).
Ketika Islam datang, budaya barbar penguburan hidup-hidup bayi perempuan pun dilarang, bagi seorang laki-laki hanya dibatasi mempunyai empat isteri, itu pun dengan persyaratan yang lumayan ketat, dan perempuan yang semula dijadikan barang warisan diangkat derajatnya dengan diberikan hak untuk mendapat warisan, walaupun bagiannya masih setengah dari bagian laki-laki. Ini adalah prestasi yang sangat luar biasa untuk ukuran saat itu dalam peningkatan status perempuan karena tidak mudah untuk mengubah suatu tradisi (budaya) yang sudah mendarah daging dan sangat mapan, maka butuh proses dan tahapan untuk sampai pada missi Islam. Hal inilah yang mungkin tidak dilihat oleh Sharfī.
G.  Penutup
Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh para pemikir secara terus-menerus itu lebih merupakan suatu penggantian tradisi keulamaan yang dirumuskan berabad-abad lalu dengan tradisi keilmuan lain yang sesuai dengan keadaan ruang-waktu dan undang-undang penalaran modern. Abdul Madjid Sharfī memberi kontribusai dasar-dasar ealaborasi-elaborasi baru yang mengacu kepada pesan asli, lalu menggarapnya lagi dan manarik makna dari dengan cara yang sesuai dengan harapan manusia modern saat ini. Elaborasi-elaborasi itu menyatukan elemen-elemen platform baru yang memenuhi persyaratan modern. Platform baru ini hanya ingin menggeser sistem yang dibangun oleh tradisi keulamaan masa lalu.
Melalui karya-karyanya, Sharfī menggunakan kartu-kartu truf yang sangat besar, karena ia memang mempunyai kemampuan dan jalan masuk ke dalam sumber-sumber yang dikerahkan oleh tradisi keulamaan itu, dan sekaligus ia mendapatkan keuntungan dari alat-alat konsptual baru serta ruang gerak yang ditawarkan oleh waktu dan pengetahuan tentang tradisi-tradisi dan penjelajahan lain. Pada saat yang sama, ia menghadapi tantangan-tantangan yang sangat penting terutama dari pihak konservatisme.
Paling tidak untuk saat ini sebuah langkah besar pembaruan secara perlahan telah berhasil dirintis, dimulai, dan bahkan dilewati. Pembaruan yang diusung oleh Abdul Madjid Sharfī dan juga kawan-kawannya sekarang telah mempunyai platform. Islam saat ini telah dapat menampilkan wajahnya yang baru dengan tetap setia pada risalah dan juga kecerdasan dengan tidak saling bertentangan.
Wallāhu a’lamu bi as}-S}hawāb.

-------( ☺☻☺ )-------





















DAFTAR PUSTAKA
Abeveiro, A. Yani, “Penguasa, Oposisi dan Ekstrimis dalam Khilafah Islam”, dalam A. Maftuh Abegebriel (ed.), Negara Tuhan: The Encyclopaedia, Yogyakarta: SR-Ins Publishing, 2005.
Ansary, Abdou Filali, Pembaruan Islam, Dari Mana dan Hendak Kemana?, terj. Machasin, cet. ke-1, Bandung: Mizan, 2009
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Surabaya: Mahkota, 1998.
Hitti, Philip K., History of The Arabs, alih bahasa R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, cet. ke-2, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010.
Kahar, Novriantoni, Al-Jabiri dan Nalar Politik Arab dan Islam: Sebuah Penjajakan Awal, makalah diskusi bulanan Jaringan Islam Liberal, Teater Utan Kayu, 30 Juni 2004.
Madjid, Nurcholish, Islam: Doktrin dan Peradaban, cet ke-4Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina,2000.
Osman, Fathi, “Bai'at al Imam: Kesepakatan pengangkatan Kepala negara Islam,” dalam Mumtaz Ahmad (ed.), Masalah-Masalah Teori Politik Islam, Bandung: Mizan, 1993.
Shaban, M.A., Sejarah Islam Penafsiran Baru, Jakarta: Rajawali Press, 1993.
Sharfī, Abdul Madjid, al-Islām baina ar-risālah wa at-tārīkh, cet. ke-2, Beirut: Dār at}-t}alī’ah li at}-t}abā’ah wa an-nasyr, 2001.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara, edisi ke-5, Jakarta: UI Press, 1993.

-------( ☺☻☺ )-------



* Mahasiswa program Magister (S2) Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Program Studi Hukum Islam, Konsentrasi Hukum Keluarga.
[1] Abdul Madjid Sharfi, al-Islām baina ar-risālah wa at-tārīkh, cet. ke-2 (Beirut: Dār at}-t}alī’ah li at}-T}abā’ah wa an-Nasyr, 2001), hlm. 6.
[2] Ibid., hlm. 98.
[3] Ibid., hlm. 7.
[4] Abdou Filali-Ansary, Pembaruan Islam, Dari Mana dan Hendak Kemana?, terj. Machasin, cet. ke-1 (Bandung: Mizan, 2009), hlm. 263-264.
[5] Ibid.
[6] Pemisahan atau tepatnya perbedaan posisi pemimpin keagamaan dengan pemimpin politik dalam konteks Islam tidak berarti pemimpin politik tidak boleh concern terhadap persoalan keagamaan (sekaligus harus menjiwai dan menjalankan ajaran agama) dan pemimpin keagamaan tidak peduli dengan masalah politik. Pembedaan ini hanya untuk menunjukkan lapangan kerja yang berbeda. Ini berbeda dengan kalangan lain yang mengatakan”berikan kaisar haknya dan berikan hak Tuhan pada Tuhan.” Alinea diatas harus difahami bahwa Muhammad adalah Nabi dan Kepala negara sekaligus. Suksesi sepeninggalnya hanya pada lapangan kepala negara, tapi tidak berarti pemimpin setelahnya sama sekali tidak memiliki otoritas keagamaan.Walaupun tidak sebesar otoritas yang dimiliki oleh Nabi Muhammad.
[7] Ibid., hlm. 101-104.
[8] Bai’at sesungguhnya sudah dipergunakan sejak masa Nabi. Nabi seringkali melakukannya seperti tercatat dalam sejarah Islam, yakni berlangsungnya bai’at ar rid}wān dan bai’at al-‘aqabah. Intinya, bai’at itu berisi janji untuk setia dan patuh kepada Nabi serta akan mengamalkan dan membela ajaran Islam. Rupanya, penggunaan istilah bai’at ini masih diteruskan sepeninggal Nabi, akan tetapi telah terjadi pergeseran makna. Pada masa kekhalifahan, bai’at menjadi ikrar politik, yang tanpanya tak akan sempurna (atau tak diakui) seorang khalifah. Lihat Fathi Osman, “bai’at al-Imam: Kesepakatan Pengangkatan Kepala Negara Islam,” dalam Mumtaz Ahmad (ed.), Masalah-Masalah Teori Politik Islam (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 75-116. Ketika terjadi perselisihan di saqīfah bani sa’īdah, Abu Bakar dengan kewibawaan serta ketenangannya berbicara dan mengingatkan kepada semua bahwa bukankah Nabi pernah bersabda: al-aimmah min Quraisy (sebenarrnya tujuan Abu bakar menyampaikan itu adalah untuk menolak kepemimpinan Saad bin Ubadah yang telah dibaiat oleh kaum Anshar di safah) dan bahwa hanya di bawah pimpinan Quraisy akan terjamin keutuhan, keselamatan, dan kesejahteraan bangsa Arab. Abu Bakar tak lupa mengingatkan pada kaum Anshar akan sejarah pertentangan kaum Khazraj dan ‘Aus yang bila meletup kembali (dengan masing-masing mengangkat pemimpin) akan membawa mereka semua ke alam jahiliyyah lagi. Kemudian Abu Bakar menawarkan dua tokoh Quraisy, Umar dan Abu Ubaidah, untuk dipilih sebagai khalifah. Kearifan Abu Bakar dalam berbicara di tengah suasana penuh emosional rupanya mengesankan mereka yang hadir. Umar menyadari hal itu dan ia mengatakan pada semua yang hadir bahwa bukankah Abu Bakar yang diminta oleh Nabi untuk menggantikan beliau sebagai imam shalat bilamana Nabi sakit?. Umar dan Abu Ubaidah segera membai’at Abu Bakar tapi mereka didahului oleh Basyir bin Sa’ad, seorang tokoh Khazraj, yang membaiat Abu Bakar. Kemudian yang hadir di saqīfah, semuanya memberi baiat Abu Bakar. Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, edisi ke-5 (Jakarta: UI Press, 1993), hlm. 22-23.
[9] M.A. Shaban, Sejarah Islam Penafsiran Baru (Jakarta: Rajawali Press, 1993), hlm. 24-25.
[10] Lihat, Novriantoni Kahar, Al-Jabiri dan Nalar Politik Arab dan Islam: Sebuah Penjajakan Awal, makalah diskusi bulanan Jaringan Islam Liberal, Teater Utan Kayu Jakarta, 30 Juni 2004. hlm. 14.
[11] Abdul Madjid Sharfi, al-Islām baina ar-risālah…, hlm. 104.
[12] Ibid., hlm. 104. Menurut Al-Mawardi sebagaimana dikutip oleh Munawir Sjadzali, pada hakikatnya pemilihan Abu Bakar itu hanya oleh sekelompok kecil yang terdiri dari lima orang selain Abu Bakar. Mereka adalah Umar bin Khattab, Abu Ubaidah bin Jarah, Basyir bin Saad, Asid bin Khudair, dan Salim (seorang budak Abu Khudaifah yang telah dimerdekakan). Banyak sahabat senior yang tidak hadir dalam pertemuan tersebut. Seperti Ali, Usman, Abdurrahman Zubair, Saad, dan Thalhah. Ditinggalkannya mereka bukan suatu kesengajaan tapi karena pertemuan itu mendadak dan tidak direncakan, dan keadaan waktu itu amat genting sehingga memerlukan tindakan yang tegas, cepat, dan solutif. Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara...., hlm. 23.
[13] Ibid., hlm. 106.
[14] Ibid., hlm. 106.
[15] Ibid. hlm. 107.
[16] Ibid., hlm. 108.
[17] Menurut Philip K. Hitti Secara umum, sejarah Arab terbagi menjadi tiga periode: 1) Periode Saba-Himyar, berakhir pada abad ke-6 masehi. 2) Periode Jahiliyyah, satu segi dimulai dari penciptaan Adam hingga kedatangan Muhammad, tapi lebih khusus lagi seperti yang digunakan dalam kebanyakan buku-buku sejarah, meliputi kurun satu abad menjelang kelahiran Islam. Dan 3) Periode sejak kelahiran Islam sampai sekarang. Jahiliyyah yang biasa diartikan masa kebodohan atau kehidupan Barbar sebenarnya berarti bahwa ketika itu orang-orang Arab tidak memiliki otoritas hukum, nabi, dan kitab suci. Pengertian itu dipilih karena tidak bisa mengatakan bahwa masyarakat yang berbudaya dan mampu baca tulis, ahli membuat sya’ir seperti masyarakat Arab selatan disebut sebagai masyarakat bodoh dan Barbar. Kata itu muncul beberapa kali dalam al-Quran, ali Imran: 154, al-Maidah: 50,al-Ah}zāb: 33, dan al-Fath}: 26). Berbeda dengan Arab Selatan, sebagian besar masyarakat Arab utara adalah masyarakat momad. Sejarah orang-orang Badui dipenuhi dengan kisah peperangan gerilya yang dikenal dengan Ayyām al-‘Arab. Lihat, Philip K. Hitti, History of The Arabs, alih bahasa R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, cet. ke-2 (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010), hlm. 108-109.
[18] Abdul Madjid Sharfi, al-Islām baina ar-risālah…, hlm. 109.
[19] Philip K. Hitti, History of The Arabs, hlm. 110.
[20] Keberhasilan perdagangan Quraisy tersebut sebagaimana diisyaratkan dalam al-Quran Surat al-Quraisy (106): 1-4.
[21] A. Yani Abeveiro, “Penguasa, Oposisi dan Ekstrimis dalam Khilafah Islam”, dalam A. Maftuh Abegebriel (ed.), Negara Tuhan: The Encyclopaedia (Yogyakarta: SR-Ins Publishing, 2005), hlm. 52-54.
[22] Abdul Madjid Sharfi, al-Islām baina ar-risālah…, hlm. 109-110.
[23] Ibid. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Nurcholish Madjid bahwa kepentingan politik adalah sebagai sumber intervensi. Sistem politik atau kepolitikan adalah bagian dari situasi dan kegiatan kemayarakatan manusia yang paling banyak memerlukan pembenaran dan pengabsahan (justifikasi dan legitimasi). Lihat, Nurcholish Madjid, Islam: Doktrin dan Peradaban, cet ke-4 (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina,2000), hlm. 329.
[24] Abdul Madjid Sharfi, al-Islām baina ar-risālah…, hlm. 111.
[25] Dalam maslalah ganīmah ini Al-Jabiri sebagaimana dikutip Novriantoni Kahar berpendapat bahwa ganīmah pada awalnya bukanlah tujuan utama Nabi. Hanya saja, pukulan-pukulan terhadap kepentingan ekonomi Quraisy perlu dilancarkan demi menaklukkan mereka, sembari menegaskan bahwa hanya dengan Islam mereka akan dapat diuntungkan. Islamnya suku Quraisy sangat berarti untuk mengislamkan suku-suku lain, karena mereka adalah suku yang berkuasa di Mekkah. Maka dari itu, proses penghadangan terhadap  ekspedisi perniagaan Quraisy perlu dilancarkan dari Madinah, sebab jalur perdagangan antara Mekkah dan Syam (Syiria sekarang) akan melewati jalur Madinah. Nabi paham betul bahwa strategi perang yang paling menyakitkan bagi Quraisy adalah yang dapat menyadarkan bahwa kepentingan niaga mereka akan benar-benar terancam. Hanya saja, persoalan ganīmah selain berperan positif juga punya dampak negatif terhadap perkembangan Islam selanjutnya. Banyaknya ganīmah yang dihasilkan dalam beberapa penaklukan, dan berduyun-duyunnya orang memeluk Islam tidak dapat menggiring mereka untuk melampaui derajat “Islam politis-perang” menuju Islam pada level akidah dan keimanan. Sisi-sisi negatif dari faktor ghanimah ini akan ikut andil dalam perpecahan kaum Muslim awal, bahkan sejak Nabi masih hidup. Cerita tentang ganīmah perang Hunain menjadi bukti akan hal ini. Sebelumnya, perang Uhud juga menjadi bukti bahwa faktor ganāmah selain merupakan faktor kekuatan, juga menjadi kelamahan di kemudian hari. Sisi-sisi negatif aspek berlanjut dalam kasus perang Tabuk dan Mu’tah (untuk melawan Imperium Romawi), dan bagaimana tanggapan kaum Muslim awal dalam peristiwa tersebut. Ketika Nabi mempersiapkan diri untuk berperang, banyak dari kaum Muslim baru yeng derajat keislamannya masih pada level loyalitas politik, enggan ikut perperang. Surat at-Taubah yang turun setahun menjelang wafatnya Nabi, menjadi bukti sejarah dan nyaris seperti laporan kritis tentang kondisi internal Negara dakwah Nabi.Novriantoni Kahar, Al-Jabiri dan Nalar Politik Arab dan Islam, hlm. 12-14.
[26] Abdul Madjid Sharfi, al-Islām baina ar-risālah…, hlm. 113.
[27] Ibid., hlm. 114.
[28] Ibid., hlm. 115.
[29] Philip K. Hitti, History of The Arabs, hlm. 179-181.
[30] Abdul Madjid Sharfi, al-Islām baina ar-risālah…, hlm. 115.

Posting Komentar

0 Komentar