Tafsir Maudhu'i: Metode baru dalam Tafsir Al-Qur'an (Studi atas Metode Quraish Shihab dalam Menafsirkan Al-Qur’an)

TAFSIR MAUDHU‘I:
METODE BARU DALAM TAFSIR AL-QUR’AN
(Studi atas Metode Quraish Shihab dalam Menafsirkan Al-Qur’an)[1]
Oleh Ahmad Badrut Tamam [2]

A. Pengantar
Al-Qur’an diturunkan Allah kepada ummat manusia agar dijadikan sebagai hudan, bayyinah, dan furqan. Al-Qur’an selalu dijadikan sebagai pedoman dalam setiap aspek kehidupan dan al-Qur’an merupakan kitab suci ummat Islam yang selalu relevan sepanjang masa. Relevansi kitab suci ini terlihat pada petunjuk-petunjuk yang diberikannya kepada umat manusia dalam aspek kehidupan. Agar fungsi al-Qur’an tersebut dapat terwujud serta selalu dapat selaras dengan kebutuhan dan tantangan yang mereka hadapi, maka firman Allah SWT itu harus ditafsirkan (diinterpretasikan) untuk mencari dan menemukan makna-makna yang terkandung di dalamnya.
Tafsir sebagai usaha untuk memahami dan menerangkan maksud dan kandungan ayat-ayat suci selalu mengalami perkembangan yang cukup bervariasi. Katakan saja, corak penafsiran al-Qur’an adalah hal yang tak dapat dihindari. Corak penafsiran Qur’an tidak terlepas dari perbedaan, kecenderungan, motivasi mufassir, perbedaan misi yang diemban, perbedaan kedalaman (capacity) dan ragam ilmu yang dikuasai, perbedaan masa, lingkungan serta perbedaan situasi dan kondisi, dan sebagainya. Kesemuanya menimbulkan berbagai corak penafsiran yang berkembang menjadi aliran yang bermacam-macam dengan metode-metode yang berbeda-beda.
Untuk mencapai tujuan agar al-Qur’an tetap menjadi petunjuk bagi seluruh umat manusia di dunia ini dan selalu aktual di setiap zaman dan tempat, maka para ahli tafsir dari waktu ke waktu, bahkan hingga saat ini, selalu berusaha mengembangkan metode penafsiran al-Qur’an. salah satunya adalah M. Quraish Shihab adalah sosok ahli tafsir asal Indonesia yang telah memberikan banyak kontribusi dalam dunia Islam lewat kajian dan karya-karyanya tentang tafsir al-Qur’an. maka dari itu, lewat makalah ini, penulis akan memaparkan sebuah metode yang digunakan M. Quraish Shihab dalam menafsirkan al-Qur’an. 

B. Biografi M. Quraish Shihab
Nama lengkapnya adalah Muhammad Quraish Shihab. Ia lahir tanggal 16 Februari 1944 di Rapang Sulawesi Selatan. Ia berasal dari keluarga keturunan Arab yang terpelajar. Ayahnya, Prof. KH. Abdurrahman Shihab adalah seorang ulama dan guru besar dalam bidang tafsir. Abdurrahman Shihab dipandang sebagai salah seorang tokoh pendidik yang memiliki reputasi baik di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan. Kontribusinya dalam bidang pendidikan terbukti dari usahanya membina dua perguruan tinggi di Ujungpandang, yaitu Universitas Muslim Indonesia (UMI), sebuah perguruan tinggi swasta terbesar di kawasan Indonesia bagian timur, dan IAIN Alauddin Ujung Pandang. Ia juga tercatat sebagai mantan rektor pada kedua perguruan tinggi tersebut, UMI tahun 1959-1965 dan IAIN Alauddin 1972-1977.[3]
Sebagai putra dari seorang guru besar, Quraish Shihab mendapatkan motivasi awal dan benih kecintaan terhadap bidang studi tafsir dari ayahnya yang sering mengajak anak-anaknya duduk bersama. Pada saat-saat seperti inilah sang ayah menyampaikan nasihatnya yang kebanyakan berupa ayat-ayat al-Qur'an. Quraish kecil telah menjalani pergumulan dan kecintaan terhadap al-Qur’an sejak umur 6-7 tahun. Ia harus mengikuti pengajian al-Qur’an yang diadakan oleh ayahnya sendiri. Selain menyuruh membaca al-Qur’an, ayahnya juga menguraikan secara sepintas kisah-kisah dalam al-Qur’an. Di sinilah, benih-benih kecintaannya kepada al-Qur’an mulai tumbuh.[4]
Pendidikan formalnya dimulai dari sekolah dasar di Ujung Pandang. Setelah itu ia melanjutkan ke sekolah lanjutan tingkat pertama di kota Malang sambil “nyantri” di Pondok Pesantren Darul Hadis al-Falaqiyah di kota yang sama. Untuk mendalami studi keislamannya, Quraish Shihab dikirim oleh ayahnya ke al-Azhar, Cairo, pada tahun 1958 dan diterima di kelas dua Tsanawiyah. Setelah itu, ia melanjutkan studinya ke Universitas al-Azhar pada Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir dan Hadits. Pada tahun 1967 ia meraih gelar Lc (setingkat sarjana S1). Dua tahun kemudian (1969), beliau berhasil meraih gelar M.A. pada jurusan yang sama dengan tesis berjudul “al-I’jaz at-Tasryri’i al-Qur'an al-Karim (kemukjizatan al-Qur'an al-Karim dari Segi Hukum)”.[5]
Pada tahun 1973 ia dipanggil pulang ke Ujung Pandang oleh ayahnya yang ketika itu menjabat rektor, untuk membantu mengelola pendidikan di IAIN Alauddin. Ia diangkat menjadi wakil rektor bidang akademis dan kemahasiswaan sampai tahun 1980. Di samping mendududki jabatan resmi itu, ia juga sering memwakili ayahnya yang uzur karena usia dalam menjalankan tugas-tugas pokok tertentu. Berturut-turut setelah itu, Quraish Shihab diserahi berbagai jabatan, seperti koordinator Perguruan Tinggi Swasta Wilayah VII Indonesia bagian timur, pembantu pimpinan kepolisian Indonesia Timur dalam bidang pembinaan mental, dan sederetan jabatan lainnya di luar kampus.[6]
Untuk mewujudkan cita-citanya dalam mendalami studi tafsir, pada 1980 Quraish Shihab kembali menuntut ilmu ke almamaternya, al-Azhar, mengambil spesialisasi dalam studi tafsir al-Qur'an. Ia hanya memerlukan waktu dua tahun untuk meraih gelar doktor dalam bidang ini. Disertasinya yang berjudul “Nazm ad-Durar li al-Biqa’i Tahqiq wa DirasahNazm ad-Durar [Rangkaian Mutiara] karya al-Biqa’i)” berhasil dipertahankannya dengan predikat summa cum laude dengan penghargaan Mumtaz Ma’a Martabah asy-Syaraf al- Ula (sarjana teladan dengan prestasi istimewa). Dengan prestasinya itu, dia tercatat sebagai orang Asia pertama yang meraih gelar tersebut.[7] (Suatu Kajian terhadap Kitab
Sekembalinya ke Indonesia, sejak 1984, Quraish Shihab ditugaskan di Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Pasca-Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah. Selain itu, di luar kampus, dia juga dipercayakan untuk menduduki berbagai jabatan, antara lain: Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984), anggota Lajnah Pentashih al-Quran Departemen Agama (sejak 1989), anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (sejak 1989), dan Ketua Lembaga Pengembangan. Dia juga banyak terlibat dalam beberapa organisasi professional, antara lain: Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syari'ah, Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Ia diangkat sebagai Rektor IAIN Jakarta selama dua periode (1992-1996 dan 1997-1998). Setelah itu ia dipercaya menduduki jabatan sebagai Menteri Agama selama kurang lebih dua bulan di awal tahun 1998, hingga kemudian diangkat sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk negara Republik Arab Mesir merangkap negara Republik Djibauti berkedudukan di Kairo.
Dari latar belakang keluarga dan pendidikan yang dilaluinya, nampak bahwa hal itulah yang menjadikannya seorang yang mempunyai kompetensi yang cukup menonjol dan mendalam dalam bidang tafsir al-Qur’an di Indonesia. Dengan kata lain, menurut Howard M. Federspiel, kondisi diatas menjadikan M. Quraish Shihab terdidik lebih baik dibandingkan dengan hampir semua pengarang-pengarang lainnya yang terdapat dalam Kajian al-Qur’an di Indonesia: dari Mahmud Yunus hingga M. Quraish Shihab.[8]
Di sela-sela kesibukannya, M. Quraish Shihab juga terlibat di berbagai kegiatan ilmiah, baik di dalam maupun di luar negeri. Dan yang tidak kalah pentingnya adalak keaktifannya dalam kegiatan tulis-menulis, baik itu di jurnal, surat kabar maupun dalam buntuk buku yang telah diterbitkan. Di antara karya monumentalnya adalah Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an.

C. Metode M. Quraish Shihab dalam Menafsirkan Al-Qur’an
Dalam perkembangan ilmu tafsir secara umum paling tidak terdapat empat macam metode tafsir, yaitu: metode ijmali (Global), metode tahlli (analitis, metode muqaranmaudhu’i (tematik). Maka untuk lebih jelasnya, penulis berusaha menguraikan secara singkat masing-masing metode tersebut, sebagai berikut: (perbandingan), dan metode
a.   Metode ijmali adalah menafsiran ayat al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna ayat secara global. Sistematikanya mengikuti urutan surat al-Qur’an, sehingga makna-maknanya saling berhubungan. Penyajiannya menggunakan ungkapan yang diambil dari al-Qur’an sendiri dengan menambahkan kalimat penghubung, sehingga memudahkan para pembaca dalam memahaminya. Dalam metode ini, mufassir juga meneliti, mengkaji dan menyajikan asbabun nuzulnya ayat dengan meneliti hadis yang berhubungan dengannya, sejarah dan asar dari salaf as-Salih.
b.  Metode tahlili yaitu suatu metode yang menjelaskan makna-makna yang dikandung al-Qur’an yang urutannya disesuaikan dengan tertib ayat yang ada dalam mushaf al-Qur’an. Penjelasan makna-makna tersebut, bisa makna kata atau penjelasan umumnya, susunan kalimatnya, asbabun nuzulnya serta keterangan yang dikutip dari nabi, sahabat maupun tabi'in.
c.   Metode muqaran yaitu menafsirkan ayat dengan cara perbandingan. Perbandingan ini meliputi tiga hal yakni: perbandingan antar ayat, perbandingan antara ayat al-Qur’an dengan hadis dan perbandingan penafsiran antar mufassir.
d.  Metode maudhu’i  adalah metode yang membahas ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan dihimpun, kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbab al-nuzul, kosakata, dan sebagainya. Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argumen yang berasal dari al-Qur’an, hadis, maupun pemikiran rasional.[9] Jadi, dalam metode ini, tafsir al-Qur’an tidak dilakukan ayat demi ayat. Ia mencoba mengkaji al-Qur’an dengan mengambil sebuah tema khusus dari berbagai macam tema doktrinal, sosial, dan kosmologis yang dibahas oleh al-Qur’an. Metode ini mempunyai dua bentuk. Pertama: membahas satu surat al-Qur’an dengan menghubungkan maksud antar ayat serta pengertiannya, secara menyeluruh. Dengan metode ini ayat tampil dalam bentuknya yang utuh. Kedua: menghimpun ayat al-Qur’an yang mempunyai kesamaan arah dan tema, lalu dianalisis, kemudian dari sana dapat ditarik sebuah kesimpulan. Biasanya model ini diletakkan di bawah bahasan tertentu.[10]
M. Quraish Shihab sendiri lebih memilih metode tahlili dan maudhu’i  dalam penafsiran al-Qur’an. M. Quraish Shihab pada awalnya lebih mengandrungi metode tafsir maudlu’i daripada metode-metode tafsir lainnya, ini seperti yang pernah ia tulis dalam bukunya yang berjudul Wawasan al-Qur’an: Tafsir maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. M. Quraish Shihab nenggunakan metode ini dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, karena menurutnya mempunyai banyak keistimewaan. Di antaranya adalah: 
1. Menghindari problem atau kelemahan metode yang lain. 
2. Menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadis Nabi, satu cara terbaik dalam menafsirkan al-Qur-an.  
3. Kesimpulan yang dihasilkan mudah dipahami. 
4. Membuat pemahaman menjadi utuh.[11]
Namun metode maudhu’i  dalam penerapannya tidaklah mudah, karena mufassir yang menggunakan metode ini dituntut untuk memahami ayat demi ayat yang berkaitan dengan judul yang ditetapkannya. Selain itu ia juga dituntut untuk menghadirkan “dalam benaknya” pengertian kosakata ayat, asbabun nuzulnya dan munasabah antar ayatnya.
Metode yang diterapkan M. Quraish Shihab pada dasarnya merupakan metode yang pernah dikemukakan oleh al-Farmawi.[12] Ada beberapa langkah dalam metode ini yaitu:
1.  Menetapkan masalah yang dibahas (topik bahasan).
2.  Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut.
3.  Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai dengan pengetahuan tentang asbabun nuzulnya.
4.  Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing.
5.  Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna.
6.  Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan.
7. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama.
Akan tetapi pada lain waktu, M. Quraish Shihab menulis Tafsir al-Qur’an: Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, dengan menggunakan metode tahlili  (analitis). Uraian-uraian yang terdapat dalam tafsir ini merujuk pada al-Qur’an dan sunnah. Menurutnya, menerapkan metode maudhu’i, tidaklah menjadikan seorang mufassir boleh mengabaikan metode talili, karena uraian-uraian yang tersaji dalam metode tahlili, sangat diperlukan dalam uraian yang bersifat maudhu’i.[13] Yang menarik adalah uraian-uraiannya yang memperhatikan kosakata atau ungkapan al-Qur’an dengan merujuk kepada pandangan pakar bahasa, kemudian memperhatikan bagaimana kosakata atau ungkapan itu digunakan al-Qur’an lalu memahaminya.
Perhatian terhadap kosakata bagi M. Quraish Shihab amatlah penting, karena al-Qur’an tidak jarang mengubah pengertian semantik dari kosakata yang digunakan oleh masyarakat arab yang ditemuinya dan memberi muatan makna yang berbeda pada kata tersebut. Perhatian semacam ini sangat memerlukan waktu yang cukup banyak untuk memahami dan mempelajari kitab suci. Oleh karena itu memaparkan kata sebanyak mungkin, serta kaidah-kaidah tafsir yang digunakan untuk memahami yang tidak ditafsirkan, mutlak diperlukan oleh seorang mufassir.[14]  Akan tetapi setelah melihat perkembangan tafsirnya tersebut, M. Quraish Shihab ternyata kurang puas dengan apa yang dihasilkannya. Menurutnya pendalaman kosakata sebagaimana yang telah dilakukan sebelumya, menjadikan para pembaca bosan dan sangat bertele-tele. Hal ini tidak diulanginya lagi ketika ia menulis Tafsir al-Misbah: Kesan, Pesan dan Keserasian al-Qur’an. Ia hanya memperhatikan kosakata bilamana diperlukan saja.[15]
Metode yang diterapkan dalam tafsirnya ini adalah metode tahlili, karena M. Quraish Shihab menganalisis secara kronologis dan memaparkan berbagai aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat al-Qur’an, sesuai dengan urutan bacaan yang terdapat dalam mushaf. Tujuan utamanya adalah ingin membuktikan kepada masyarakat yang masih meragukan keserasian redaksi al-Qur’an, bahwa ayat-ayat maupun surat-surat yang terdapat dalam al-Qur’an mempunyai keserasian yang sempurna dan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Dengan tujuan mengaktualisasikan al-Qur’an tanpa meragukan keserasian ayat-ayatnya, maka M. Quraish Shihab sangat memperhatikan munasabah antar ayat maupun antar suratnya.[16]
Untuk lebih jelasnya, berikut adalah beberapa prinsip yang dipegang oleh Quraish Shihab dalam menafsirkan al-Quran, baik dalam bentuk tahlili  maupun maudhu’i, antara lain:
1.  Memandang al-Quran sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan
        Meskipun al-Quran diturunkan dalam kurun waktu sekitar 22 tahun, dan dalam kondisi yang berbeda-beda, tetapi ia sebenarnya saling berkaitan satu dengan lainnya. Bahkan susunannya yang bagi sementara orang ‘dianggap’ tidak berurutan dan sepintas tidak saling berkaitan memiliki keserasian makna yang menakjubkan. Tema-tema tertentu yang di dalam al-Quran berserakan di beberapa tempat sesungguhnya juga memiliki rahasia tersendiri yang hanya dapat diperoleh melalui tadabbur terhadap al-Quran. Pandangan ini kemudian melahirkan suatu model bentuk penafsiran yang dikenal dengan maudhu’i. Cara pandang ini telah dikemukakan sebelumnya oleh Imam Al-Syâthibiy, ulama abad ke VIII asal Cordova, dalam kitabnya al-Muwafaqat, dan diperkenalkan kembali di awal abad modern oleh M. Abduh yang selanjutnya diwujudkan dengan baik oleh murid-muridnya seperti, Rasyid Ridha, M. Musthafa al-Maraghi, M. Syaltout, Abdullah Diraz, Amin al-Khuli, Bintu Syathi dan sebagainya. Hemat penulis, Quraish Shihab telah melakukan itu dengan baik dalam beberapa karya tafsir maudhu’inya.
        Metode ini pada dasarnya diperkenalkan untuk menutupi kekurangan metode tafsir klasik yang disusun berdasarkan urutan dalam mushaf. Namun, pengembangan metode ini jika tidak didukung dan dibatasi oleh pagar-pagar metodologis yang kuat, maka kritik yang sering dilontarkan kepada metode klasik seperti, ‘tingginya subyektifitas penafsir’, ‘penafsiran yang ‘mengikat’ generasi berikut’, ‘sebagai justifikasi pendapat mufasir’ juga akan dialaminya. Sejauh ini, penerapan metode ini sangat rentan oleh timbulnya pra-konsepsi mufasir. Sebab, umumnya penetapan dan pemecahan masalah berangkat dari realitas kehidupan, bukan sebaliknya, dari Al-Qur’an. Dari sini mufasir maudhu’i akan terjebak pada kesalahan yang pernah dan sering dilakukan mufasir dengan ittijah ilmiy (saintifik), bedanya, dalam tafsir saintifik mufasir modern terbius dengan teori-teori ilmiah (eksak), sementara dalam tafsir maudhu’i digunakan teori-teori ilmu sosial, misalnya tentang gender, masyarakat madani, demokrasi dan tema-tema lain yang masih bersifat wacana. Selain itu, jika tafsir maudhu’i diumpamakan oleh Quraish Shihab seperti menghidangkan makanan kepada tamu dalam bentuk kotak, sedangkan tafsir tahlili seperti menghidangkan makanan di meja prasmanan,[17] maka sudah barang tentu kualitas kotak makanan itu berpulang kepada penyajinya. Ini misalnya akan terlihat jika kita coba membandingkan karya-karya maudhu’i Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Qur’an dan Secercah Cahaya Ilahi, Dawam Raharjo dalam Ensiklopedi Al-Qur’an, dan Fazlurrahman dalam Tema-tema Pokok Al-Qur’an.
        Selanjutnya, keterkaitan bagian-bagian al-Quran; kata, kalimat, ayat dan surat, satu dengan lainnya melahirkan pandangan lain dalam tafsir Quraish Shihab, yaitu:
2.  Pentingnya memahami ilmu munasabah
        Munasabah adalah korelasi dan keserasian antarkata, ayat dan surat dalam al-Quran. Metode munasabah ini pertama kali diperkenalkan oleh al-Biqa’i, yang kemudian diikuti oleh mufassir setelahnya. Para ulama menekuni ilmu munasabah al-Qur’an, hubungan bagian-bagian al-Qur’an dengan mengemukakan bahkan membuktikan keserasian ayat yakni dengan mengikuti enam langkah sebagai berikut:
a. Keserasian kata demi kata dalam satu surat.
b. Keserasian kandungan ayat dengan fashilat, yakni penutup ayat.
c. Keserasian hubungan ayat dengan ayat berikutnya.
d. Keerasian uraian awal/mukaddimah satu surat dengan penutupnya.
e. Keserasian penutup surat dengan uraian awal/mukaddimah surat sesudahnya.
f.  Keserasian tema surat dengan nama surat.[18]
        Ulama tafsir yang paling berhasil menerapkan pandangan ini adalah Ibrahim bin Umar al-Biqa’iy (809-885 H/1406-1480 M) dalam karyanya, Nazhm al-Durar Fi Tanasub al-Ayat Wa al-Suwar.[19] Quraish Shihab dalam banyak hal sangat terpengaruh oleh pemikiran ulama asal Libanon ini. Perkenalannya yang sangat intensif dengan ulama ini terjadi ketika pada tahun 1980 Quraish Shihab melakukan penelitian terhadap karya al-Biqa’iy dalam disertasinya untuk meraih gelar Doktor di bidang tafsir dari Universitas Al-Azhar Kairo. Warna ini sangat kental sekali dalam tafsir Quraish Shihab, terutama dalam tafsir tahlili-nya.[20]
3.  Menelusuri penggunaan kosa kata Al-Qur’an di kalangan para pemakainya, bangsa Arab, dan dalam Al-Qur’an sendiri.
        Ini karena al-Quran adalah teks kitab suci yang berbahasa Arab. Bahasa tidak lain adalah simbol yang menyimpan beragam makna. Karenanya hak-hak kebahasaan itu harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum maksud-maksud lain. Dalam hal ini Quraish Shihab banyak merujuk kepada kamus-kamus berbahasa Arab seperti Mu’jam Maqayis al-Lughah, karya Ibnu Faris, Lisan al-‘Arab, karya Ibnu Manzhur dan Al-Mufradat Fi Gharib al-Qur’an, karya al-Raghib al-Ashfahaniy. Kaidah ini lebih banyak ditemukan dalam Tafsir Al-Quran al-Karim daripada al-Mishbah yang terbit belakangan. Ini karena, seperti diakui Quraish Shihab sendiri, cara seperti itu terlalu akademis sehingga kurang menarik minat orang kebanyakan, bahkan sementara orang menilainya bertele-tele.[21]
        Hemat penulis, menelusuri kosa kata al-Quran melalui kamus-kamus, misalnya yang disebut di atas, boleh jadi akan mengaburkan pemahaman itu sendiri. Sebab bahasa selalu berkembang sesuai dengan perkembangan peradaban manusia. Selain itu, kamus-kamus bahasa Arab disusun belakangan jauh setelah al-Quran diturunkan, khususnya setelah kemampuan bahasa bangsa Arab menurun dengan terjadinya interaksi budaya dengan bangsa lain. Isyarat Ibnu Abbas agar dalam menafsirkan kata-kata sulit kita kembali kepada syair-syair Arab kuno nampaknya perlu dipahami sebagai anjuran untuk memahami al-Quran terlebih dahulu sebagaimana halnya bangsa Arab memahaminya ketika itu, baru setelah itu disesuaikan dengan ruang dan waktu masing-masing. Lagi-lagi ide ini dihadang dengan terbatasnya koleksi syair-syair Arab kuno (syi’r jahiliy) dan luasnya cakupan kosa kata yang harus dipahami. Betapapun, yang dilakukan Quraish Shihab telah menghantarkan umat dapat mengakses langsung pesan-pesan al-Quran yang tersembunyi di balik bahasanya. 
        Dari penelusuran penggunaan kosa kata ini selanjutnya Quraish Shihab menyimpulkan kaidah lain, yaitu:
4.  Tidak ada kosa kata yang sinonim (muradif) di dalam al-Quran.
        Setiap kata dalam al-Qur’an mempunyai makna tersendiri yang tidak bisa digantikan kedudukannya oleh kata yang lain. Kata qasam dan hilf yang dalam bahasa Indonesia diartikan sama, yaitu sumpah, menurut Quraish Shihab berbeda dalam penggunaan al-Qur’an. Kata qasam dengan berbagai derivasinya, menurutnya tidak digunakan al-Qur’an kecuali untuk sumpah yang oleh pengucapnya diyakini kebenarannya, dengan kata lain sumpah yang kukuh dan tidak dilanggar. Sementara kata hilf dan derivasinya digunakan untuk jenis sumpah palsu, atau sumpah yang boleh jadi dibatalkan oleh pengucapnya. Karena itu, ketika berbicara tentang sumpah orang-orang munafik al-Quran menggunakan kata yahlifun. (QS. 9:56). Demikian juga ketika berbicara tentang tebusan (kaffârat) sumpah yang dibatalkan digunakan kata hilf (idza halaftum, QS. 5:89).[22] Contoh lain, kata sabil dan shirath yang keduanya sering diartikan sebagai jalan. Sabil disebut dalam al-Quran sebanyak 166 kali dalam bentuk tunggal dan 10 kali dalam bentuk jamak. Sering kali kata ini dirangkaikan dengan Tuhan atau sesuatu atau sekelompok manusia yang baik dan sering kali pula sebaliknya. Sementara kata shirath ditemukan sebanyak 45 kali dalam al-Quran kesemuanya berbentuk tunggal dan tidak digunakan kecuali dalam arti jalan menuju kebenaran atau sesuatu yang hak adanya. Dari sini Quraish Shihab menyimpulkan bahwa kata sabil mengisyaratkan keragaman “jalan baik” dan keragaman “jalan buruk”. Sedangkan shirath —sesuai dengan asal maknanya yang berarti “menelan”— menggambarkan jalan yang luas dan lebar seakan-akan menelan pejalannya, serta penempuh jalan-jalan baik yang beraneka ragam itu. Kepada shirath inilah bermuara semua sabil atau jalan-jalan yang baik (al-Maidah: 16). Karena itu yang kita panjatkan dalam shalat adalah petunjuk ke arah as-Shirath al-Mustaqim, bukannya as-Sabil al-Mustaqim.[23]
5. Perlunya memahami al-Quran berdasarkan urutan sejarah turunnya untuk mengetahui karakteristik idiom-idiom yang digunakan.
        Misalnya, dalam wahyu-wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad saw. kata yang digunakan untuk menunjukkan Tuhan Yang Maha Esa adalah Rabb, bukan Allah. Ini menurut Quraish Shihab disebabkan karena kaum musyrikin percaya juga kepada Allah, tetapi keyakinan mereka kepada Allah jauh berbeda dengan keyakinan yang diajarkan dan dihayati oleh Nabi Muhammad saw. Mereka, misalnya, beranggapan bahwa Allah memiliki anak-anak wanita. (QS. 17:40). Dari sini al-Quran ingin melakukan perubahan semantik kata tersebut, yaitu meskipun kosa kata yang digunakannya sama dengan yang digunakan masyarakat jahiliyah, tetapi nilai-nilainya berbeda. Dan ini perlu waktu lama. Sehingga kalau pada masa awal kata Allah digunakan, misalnya dalam perintah membaca (iqra’ bismillah, bukan bismi rabbika) maka akan timbul kerancuan dalam pemahaman.[24]
        Agaknya inilah yang mendorong beberapa pakar al-Quran, termasuk Quraish Shihab, untuk menyusun tafsir berdasarkan urutan turunnya wahyu. Pendekatan ini banyak mendapat kritik dengan alasan usaha itu akan sangat sulit dilakukan, karena tidak ditemukan bukti-bukti otentik yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Bahkan hampir dapat dikatakan mustahil, dan kalaupun dapat dilakukan sangat terbatas sekali pada yang diketahui sebab nuzulnya. al-Quran yang kita warisi urutannya adalah seperti yang ada dalam mushaf. Selain itu, banyak surat dalam al-Quran diturunkan secara terpisah-pisah, bahkan dalam kurun waktu yang cukup lama dan diselingi oleh surat-surat lain.
Demikian beberapa prinsip dan metode Quraish Shihab dalam menafsirkan al-Quran. Sekalipun metode maudhu’i dan beberapa prinsip pendekatan filologis dan retorika (bayan) Al-Qur’an dikatakan dapat menjaga obyektifitas pemahaman, tetapi latar belakang mufasir yang beragam dapat saja menjadikannya subyektif. Karena itu Quraish Shihab menambahkan kalimat ’’Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an’’ dalam nama tafsirnya "al-Mishbah".

D. Analisis
Banyaknya isyarat-isyarat ilmiah yang terdapat dalam al-Quran, memunculkan sebuah pembahasan khusus dan perlu mendapat tempat tersendiri dalam kajiannya. Kajian terhadap isyarat-isyarat ilmiah yang terdapat dalam al-Qur’an kemudian menghasilkan sebentuk tafsir yang disebut dengan Tafsir Ilmiah. Pendekatan ilmiah dalam tafsir telah menimbulkan polemik berkepanjangan antara yang pro dan kontra.
Pro-kontra tentang tafsir ilmiah sudah lama terjadi, mulai dari ulama-ulama klasik sampai ahli-ahli keislaman di abad modern. Selain al-Ghazali dan al-Razi, al-Mursi dan As-Suyuthi juga dikelompokkan sebagai pendukung tafsir ini. Berseberangan dengan mereka, as-Syathibi menentang keras penafsiran model seperti ini. Dalam barisan tokoh-tokoh modern, para pendukung tafsir ini seperti, M. Abduh, Thanthawi Jauhari, Hanafi Ahmad, berseberangan dengan tokoh-tokoh seperti M. Syaltout, Amin al-Khuli dan Abbas Aqqad.           
Umumnya, para mufassir dengan ittijah adabiy menolak model tafsir ilmiah. Alasan yang sering dikemukakan antara lain;
1.  Ketidakkokohan filologisnya. al-Quran diturunkan kepada bangsa Arab dalam bahasa ibu mereka, karenanya ia tidak memuat sesuatu yang mereka tidak bisa memahaminya. Para sahabat tentu lebih mengetahui al-Quran dan apa-apa yang tercantum di dalamnya, tapi tidak seorang pun di antara mereka yang menyatakan bahwa al-Quran mencakup seluruh cabang ilmu pengetahuan.
2. Ketidakkokohannya secara teologis. al-Quran diturunkan sebagai petunjuk yang membawa pesan etis dan keagamaan; hukum, akhlak, muamalah dan akidah. Ia berkaitan dengan pandangan manusia mengenai hidup, bukan dengan teori-teori ilmiah. Ia buku petunjuk dan bukan buku ilmu pengetahuan. Adapun isyarat-isyarat ilmiah yang terkandung di dalamnya dikemukakan dalam kontek petunjuk, bukan menjelaskan teori-teori baru.
3.   Ketidakkokohannya secara logis. Di antara ciri ilmu pengetahuan adalah bahwa ia tidak mengenal kata ‘kekal’. Apa yang dikatakan sebagai natural law  tidak lain hanyalah sekumpulan teori dan hipotesa yang sewatu-waktu bisa berubah. Apa yang dianggap salah di masa silam misalnya, boleh jadi diakui kebenarannya di abad modern. Ini menunjukkan bahwa produk-produk ilmu pengetahuan pada hakekatnya relatif dan subyektif. Jika demikian, patutkah kita menafsirkan yang kekal dan absolut dengan sesuatu yang tidak kekal dan relatif? Relakah kita mengubah arti ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan perubahan atau teori ilmiah yang tidak atau belum mapan itu?[25]Polemik-polemik tersebut menghasilkan formula kompromistik yang mengatakan bahwa al-Quran memang berisi kebenaran ilmu pengetahuan. Namun demikian, al-Quran tidak bisa diperlakukan sebagai sebuah buku teks ilmu pengetahuan. al-Quran lebih merupakan buku petunjuk (hidayah) daripada teori-teori ilmu. Di barisan inilah Quraish Shihab menunjukkan sikapnya. Ia mengatakan, “Memahami ayat-ayat al-Quran sesuai penemuan-penemuan baru adalah ijtihad yang baik, selama paham tersebut tidak dipercayai sebagai aqidah Qur’aniyah dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dan ketentuan bahasa”.[26] Quraish Shihab tidak menolak sepenuhnya tafsir ilmiah, seperti halnya al-Khuli, namun demikian dia sangat berhati-hati dalam menerima sebuah penafsiran ilmiah. Karena itu Quraish Shihab menetapkan beberapa syarat yang harus diperhatikan dalam menafsirkan al-Qur’an dengan penemuan ilmiah, antara lain: 1) memperhatikan kaidah-kaidah kebahasaan; 2) memperhatikan konteks ayat, dan 3) menggunakan penemuan ilmiah yang telah mapan.[27] Kehati-hatiannya ini terlihat dalam tafsirnya al-Mishbah, di mana dia banyak menggunakan rujukan yang validitas ilmiahnya dapat dipertanggungjawabkan seperti tafsir al-Muntakhab yang disusun oleh para pakar yang terdiri atas ulama dan ilmuwan Mesir.[28]
        Namun, sekali lagi, syarat yang dikemukakan Quraish Shihab terhadang oleh faktor subyektifitas mufasir. Konteks ayat (siyaq al-ayat) dimaksud adalah makna semantik yang dikandungnya serta keterkaitan ayat dan korelasinya dengan yang lain, baik dengan yang sebelumnya (sibaq al-ayat) maupun sesudahnya (lihaq al-ayat). Boleh jadi ‘kesan’ yang ditangkap seorang mufasir akan berbeda dengan mufasir lainnya. Dalam bukunya, Membumikan Al-Qur’an, Quraish Shihab keberatan dengan pandangan sementara orang yang menjadikan ayat 33 surat ar-Rahman sebagai dasar untuk membuktikan bahwa al-Qur’an membicarakan persoalan angkasa luar. Alasannya, menurut Quraish Shihab, penafsiran seperti itu menyalahi konteks ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, di mana sebenarnya konteks ayat-ayat tersebut adalah membicarakan persoalan di akhirat.[29]
        Hemat penulis, berdasarkan teori yang dikemukakan Abdulah Diraz, seorang pakar Al-Qur’an, yang menyatakan bahwa setiap surat terdiri atas; mukaddimah, batang tubuh dan penutup, ayat tersebut masih berbicara dalam konteks keduniaan. Seperti diketahui dari namanya, substansi surat al-Rahman terletak pada pernyataan beberapa nikmat Tuhan Yang Maha Pemurah (al-Rahman) yang sepatutnya disyukuri oleh manusia. Karenanya, setiap kali nikmat itu disebut Allah mengingatkan dengan ungkapan, “Nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” [30] Nikmat-nikmat tersebut terdapat di dunia dan akhirat. Dua kehidupan itu dibatasi dengan terjadinya kiamat yang ditandai, di antaranya, dengan terbelahnya langit. Demikian agungnya nikmat-nikmat tersebut, maka sangatlah pantas jika Tuhan memulainya dengan menyebut nama-Nya yang paling agung setelah lafzh al-Jalalah yaitu ar-Rahman dan menutupnya dengan mengingatkan kembali keagungan nama Tuhan Yang mempunyai kebesaran dan karunia.
        Pemahaman ini didukung oleh keserasian penyebutan ayat-ayatnya. Misalnya, mulai ayat 2 sampai ayat 36 (sebanyak 35 ayat), Allah menyebutkan beberapa nikmat duniawi, baik di darat (lihat ayat 2, 3, 5, 6, 10, 11, 12, , 14, dan 17), di laut (lihat ayat 19, 20, 22, dan 24) maupun udara/ langit (lihat ayat 33 dan 35). Seluruh nikmat-nikmat tersebut akan terputus dengan terbelahnya langit yang menandai datangnya kiamat. (lihat 4 ayat berikutnya mulai ayat 37 sampai 40). Selanjutnya, penyebutan beberapa nikmat akhirat di mulai dari ayat 41 sampai 76 (sebanyak 36 ayat). Dari susunan ayat-ayat yang demikian serasi itu, diperoleh kesan bahwa ayat 33 di atas disebut masih dalam konteks pembicaraan nikmat-nikmat duniawi.
        Sehubungan dengan pentingnya memperhatikan kaidah-kaidah kebahasaan dalam menafsirkan al-Qur’an, apalagi tafsir ilmiah, penulis mempunyai sebuah catatan. Berdasarkan sejarah, kaidah kebahasaan disusun jauh setelah al-Qur’an turun, tepatnya ketika kualitas bahasa Arab menurun di kalangan pemakainya setelah meluasnya wilayah-wilayah yang dikuasai islam, sehingga dikhawatirkan terjadi kesalahan dalam membaca al-Qur’an jika hanya melalui mushaf. Dari sini dapat dikatakan bahwa ilmu-ilmu bahasa seperti nahwu, i`rab dan balaghah muncul untuk berkhidmat kepada al-Qur’an.Timbul pertanyaan, apakah kaidah-kaidah yang disusun itu bersifat mutlak dan mengikat sehingga segala yang bertentangan dengan kaidah itu dalam memahami al-Qur’an tidak dibenarkan?
          Terlepas dari argumen di atas, agaknya kurang bijak jika menundukkan pemahaman al-Qur’an kepada kaidah-kaidah tersebut secara mutlak. Sebab tidak jarang ditemukan dalam al-Qur’an pertentangan antara kaidah kebahasaan dan tuntutan pengertian makna. Dalam hal ini, Jalaluddin al-Suyuthi, seorang pakar ilmu-ilmu keislaman klasik (849-911 H.), menyatakan pengertian makna hendaknya dikedepankan. Misalnya, ayat 8 dan 9 surat al-Thariq yang berbunyi: Innahu ‘ala raj`ihi laqadir, yawma tubla as-sara’ir (Sesungguhnya Ia untuk mengembalikannya (hidup sesudah mati) benar-benar mampu pada hari dinampakkan segala rahasia), secara makna berbunyi: Innahu ‘ala raj`ihi  yawma tubla al-sara’ir laqadir. (Sesungguhnya Ia untuk mengembalikannya (hidup sesudah mati) pada hari dinampakkan segala rahasia benar-benar mampu). Secara kebahasaan makna ini tidak dapat dibenarkan, karena kata yawm yang menjadi ma’mul bentuk mashdar kata raj`ihi dipisahkan oleh kata laqadir. Karena itu di kalangan para ahli tafsir timbul istilah tafsir al-I’rab yang memperhatikan kedudukan sintaksis ayat dan tafsir al-ma’na. Menurut mereka bukan persoalan jika ‘terpaksa’ tafsir al-ma’na bertentangan dengan kaidah sintaksis.[31] Bahkan, menurut Dr. Abdul Ghafur Musthafa, guru besar tafsir dan dosen penulis di Al-Azhar, dalam hal ini perlu dicarikan kaidah pengecualian (qaidah istitsna’iyyah).
         Dari sini penulis berkeberatan dengan apa yang dikemukakan Quraish Shihab ketika ia cenderung menganggap keliru terjemahan ayat 22 surat al-Hijr oleh Tim Departemen Agama dengan, Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit. Alasan Quraish, seperti dikemukakan dalam Membumikan Al-Qur’an, terjemahan di atas tidak didukung oleh fa‘anzalna min al-sama ma’a yang seharusnya diterjemahkan dengan maka Kami turunkan hujan. Menurutnya, dengan huruf fa seharusnya ada hubungan sebab dan akibat antara fungsi angin dengan turunnya hujan. Sehingga ayat di atas lebih tepat dikatakan sebagai informasi tentang fungsi angin dalam menurunkan hujan.[32] Quraish Shihab berargumen walaupun huruf fa tidak hanya bermakna menerangkan kaitan sebab dan akibat, tetapi juga bisa berfungsi sebagai ‘athf  yang dalam bahasa Indonesia sering diartikan dan, namun demikian huruf fa dengan pengertian dan menyalahi kaidah yang umum.
           Dalam hemat penulis, kedua makna tersebut boleh jadi sama-sama dikandung oleh ungkapan ayat di atas. Selain huruf fa, seperti kata beberapa ulama, dapat berfungsi sebagai ‘athf yang di antaranya bermakna dan,[33] kata lawaqih dalam ayat di atas yang terambil dari kata laqaha sering digunakan untuk mengawinkan tumbuh-tumbuhan, binatang, juga manusia,[34] atau yang sering disebut inseminasi. Maka, sekali lagi, terjemahan DEPAG di atas dapat juga dibenarkan seperti halnya pemahaman Quraish Shihab. Dalam hal ini Dr. Ahmad Al-Ghamrawy, seorang pakar tafsir ilmiah Al-Qur’an Mesir, mengatakan, “Penafsiran Al-Qur’an hendaknya tidak terpaku pada satu makna. Selama ungkapan itu mengandung berbagai kemungkinan dan dibenarkan secara kebahasaan maka boleh jadi itulah yang dimaksud Tuhan.” Sebelum itu, Ibnu Jinniy, seorang pakar bahasa Arab, dalam kitab al-Khasha’ish membolehkan kemungkinan satu kata atau ungkapan mengandung sekian makna, sampai pun kemungkinan makna itu sedikit jauh (lemah).

E. Kesimpulan
          Quraish Shihab memiliki dua metode penafsiran yaitu tahlili dan maudhu’i. Quraish Shihab pada awalnya menggandrungi tafsir maudhu’i. Quraish Shihab menggunakan metode ini dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, karena menurutnya mempunyai banyak keistimewaan. Namun metode maudhu’i dalam penerapannya tidaklah mudah, karena mufassir yang menggunakan metode ini dituntut untuk memahami ayat demi ayat yang berkaitan dengan judul yang ditetapkannya. Selain itu ia juga dituntut untuk menghadirkan “dalam benaknya” pengertian kosakata ayat, asbabun nuzulnya dan munasabah antar ayatnya.
         Quraish Shihab juga menggunakan metode tahlili (analitis). Beliau menganalisis secara kronologis dan memaparkan berbagai aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat al-Qur’an, sesuai dengan urutan bacaan yang terdapat dalam mushaf. Tujuan utamanya adalah ingin membuktikan kepada masyarakat yang masih meragukan keserasian redaksi al-Qur’an. Dengan tujuan ini, maka M. Quraish Shihab sangat memperhatikan munasabah antar ayat maupun antar suratnya.
         Yang menarik adalah uraian-uraiannya yang memperhatikan kosakata atau ungkapan al-Qur’an dengan merujuk kepada pandangan pakar bahasa, kemudian memperhatikan bagaimana kosakata atau ungkapan itu digunakan al-Qur’an lalu memahaminya. Perhatian terhadap kosakata bagi Quraish Shihab amatlah penting, karena al-Qur’an tidak jarang mengubah pengertian semantik dari kosakata yang digunakan oleh masyarakat arab yang ditemuinya dan memberi muatan makna yang berbeda pada kata tersebut.
        Quraish Shihab menggarisbawahi bahwa penjelasan tentang keserasian-keserasian yang telah disebutkan di atas merupakan hasil penalaran seseorang, sehingga tentunya tidak selalu dapat diterima oleh pemikir atau mufassir yang lain. Namun demikian, ini merupakan salah satu usaha manusia untuk menyampaikan pesan ilahi kepada masyarakat awam dan memberikan pengertian kepada orang-orang yang masih meragukan keaslian redaksi al-Qur’an, sehingga al-Qur’an tetap menjadi petunjuk bagi seluruh umat manusia di dunia ini dan selalu aktual disetiap zaman dan tempat (shalihun li kulli zaman wa makan).
Wallahu a’lamu bi as-Shawab.

DAFTAR PUSTAKA
Baidan, Nashruddin, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, cet. ke-2, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Farmawi, Abd Hayyi al-, Metode Tafsir Maudhu’i: Suatu Pengantar, alih bahasa Suryan A Jamrah, cet. ke-2, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1994.
Federspiel, Howard M., Kajian al-Qur’an di Indonesia: dari Mahmud Yunus hingga M. Quraish Shihab, alih bahasa Tajul Arifin, Bandung: Mizan, 1996.
Shihab M. Quraish, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Ma’udlui atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 1996.
--------, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 2000.
--------, Mukjizat al-Qur’an: Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib, Bandung: Mizan, 1997.
--------, Tafsir al-Misbah: Kesan, Pesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2000.
--------, Tafsir al-Qur’an: Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, Bandung: Pustaka Hidayah, 1997.
Suyuthi Jalaluddin as-, al-Itqan Fi ‘Ulum al-Qur’an, cet. ke-3, Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1996.


[1] Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Studi Al-Qur’an dan Hadis|, dosen pengampu Prof. Dr. Phil. H.M. Nurkholis Setiawan, M.A.
[2] Penulis adalah mahasiswa program Magister (S2) Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Program Studi Hukum Islam, Konsentrasi Hukum Keluarga, angkatan 2010.
[3] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 6.
[4] Ibid., hlm. 14.
[5] Ibid., hlm. 6.
[6] Ibid.
[7] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Ma’udlui atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), hlm. v.
[8] Howard M. Federspiel, Kajian al-Qur’an di Indonesia: dari Mahmud Yunus hingga M. Quraish Shihab, alih bahasa Tajul Arifin (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 295.
[9] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, cet. ke-2 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 151.
[10] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an,  hlm. 144.
[11] Ibid., hlm. 137.
[12] Ibid., hlm. 114-116. Lebih jelasnya lihat buku Abd Hayyi al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i: Suatu Pengantar, alih bahasa Suryan A Jamrah, cet. ke-2 (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1994)
[13] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Qur’an: Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), hlm. vi-vii.
[14] Ibid.
[15] Ibid., Untuk lebih jelasnya baca karya M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Kesan, Pesan dan Keserasian al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2000). Dari volume 1 sampai dengan 15.
[16] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Kesan, Pesan dan Keserasian al-Qur’an, vol.1 (Jakarta: Lentera Hati, 2000), hlm. v.
[17] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, hlm. xii
[18] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Kesan, Pesan dan Keserasian al-Qur’an, vol.1 (Jakarta: Lentera Hati, 2000),, hlm. xii.
[19] Buku ini telah dicetak dalam 8 jilid oleh Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut.
[20] Lihat misalnya, penjelasannya tentang munasabah pada mukaddimah setiap surat (a.l. Al-Baqarah dalam al-Mishbah 1/79, Ali-Imran, dalam al-Mishbah, 2/3) dan perpindahan tafsir dari satu ayat ke ayat lainnya. Dalam banyak tempat dia juga banyak mengutip pendapat ulama modern seperti Ibnu Asyur dalam Al-Tahrir Wa al-Tanwir, M. Sya’rawi dalam Khawathir-nya, Thabathaba’iy dalam al-Mizan, Sayyid Quthub dalam Zhilal-nya dan ulama lainnya yang juga sukses menerapkan kaidah ini dengan baik.
[21] M. Quraish Shihab, Mukaddimah Tafsir al-Mishbah, hlm. ix
[22] Lihat misalnya, Tafsir Al-Qur’an al-Karim, 786
[23] Ibid, hal 52, 199
[24] Ibid, hal. 83-85
[25] Lihat, Manahij Tajdid, karya Amin al-Khuli, hal. 219, Tafsir al-Qur’an al-Karim, karya Mahmud Syaltut,
[26] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, hal. 60
[27] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, hal 107-109
[28] Lihat, misalnya, penafsirannya tentang kulit manusia yang diisyaratkan oleh QS. an-Nisa: 56 (Al-Mishbah, 2/454), proses terjadinya susu (Tafsir QS. an-Nahl: 66), khasiat madu (QS. an-Nahl: 69).
[29] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, hlm. 55.
[30] Ungkapan ini terulang dalam QS. Al-Rahman sebanyak 31 kali. (Lihat misalnya, ayat 13, 16, 18, 21, 23, 25, 28, … dst.)
[31] Jalaluddin al-Suyuthi, al-Itqan Fi Ulum al-Qur’an, Dar Ibnu Katsir, Beirut, Cetakan III, 1996, Vol. I. hal. 584.
[32] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, 135
[33] As-Suyuthi dalam al-Itqan, I. hal. 526
[34] Kamus al-Wasith, Terbitan Majma’ al-lughah Mesir, hal. 834

Posting Komentar

0 Komentar