Kontekstualisasi Hukum Keluarga Islam (Telaah atas Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Negara-negara Muslim)

KONTEKTUALISASI HUKUM KELUARGA ISLAM
(Telaah atas Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Negara-negara Muslim)[1]
Oleh Ahmad Badrut Tamam[2]

A.    Pengantar
Agama Islam adalah agama yang universal, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Al-Qur’an sendiri menyatakan bahwa ajaran Islam berlaku untuk seluruh umat manusia.[3] Oleh karena itu, Islam seharusnya dapat diterima oleh setiap umatnya, tanpa harus ada pertentangan dengan situasi dan kondisi di mana umat itu berada. Begitu pula ketika berhadapan dengan masyarakat modern, Islam tentunya dituntut untuk dapat menghadapi tantangan modernitas, karena islam adalah shalihun li kulli zaman wa makan.
Peradaban Islam tidak lain dan tidak bukan adalah merupakan buah dari akumulasi pergulatan penganut agama Islam ketika berhadapan dengan proses dialektis antara “normativitas” ajaran wahyu dan “historisitaspengalaman kekhalifahan manusia di muka bumi yang selalu berubah sesuai dengan konteksnya.[4] Hubungan tarik menarik antara kedua dimensi tersebut, selalu mewarnai perjalanan pemikiran Islam sepanjang masa. Sejauh mana wibawa normativitas wahyu yang terbungkus dalam pengalaman kongkrit kesejarahan manusia di suatu masa tertentu dapat di perlakukan untuk diamalkan dalam masa yang lain. Proses dialektis itu senantiasa terjadi, terlebih seiring dengan mengembangnya problematika hidup yang dihadapi manusia dan itu semua membutuhkan akan adanya pembaharuan hukum Islam sebagai bentuk jawaban atau solusi.
Dalam konteks ini, tak terkecuali hukum keluarga yang berlaku di negara-negara muslim (negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim) juga membutuhkan pembaharuan terkait dengan kondisi sosiologis, kultur dan kompleksitas persoalan hidup berbangsa dan bernegara yang selalu bergerak dinamis ke depan. Pembaharuan tersebut juga sebagai jawaban atas berbagai tuntutan realitas sosial yang ada.
Berangkat dari hal-hal yang telah diuraikan di atas, makalah ini bermaksud untuk mengkaji dan menelaah ulang terhadap dinamika pembaharuan hukum keluaga di negara-negara muslim, khususnya di Turki dan Mesir sebagai negara muslim yang dianggap paling awal dalam melakukan pembaharuan hukum keluarga Islam yang kemudian mempengaruhi negara-negara muuslim lainnya. Selain itu juga akan dikaji pembaharuan hukum keluarga dalam konteks negara Indonesia, yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Akan tetapi sebelum itu semua dibahas, penulis akan terlebih dahulu menguraikan konsep ijtihad sebagai salah satu cara dalam pembaharuan hukum di masa-masa awal Islam. Ini semua bertujuan untuk menemukan relevansi antara pembaharuan hukum pada masa lalu dan kontekstualisasinya di masa sekarang.

B.    Kilas Balik Konsep Ijtihad
Sejak masa Rasulullah SAW, ijtihad telah dilakukan oleh para sahabat. Seperti yang dilakukan oleh Mu’az bin Jabal ketika hendak diutus oleh Rasulullah ke Yaman. Rasulullah bertanya kepada Mu’az ibn Jabal, “Kalau suatu persoalan tidak anda dapatkan dalam kitab Allah dan sunnah rasul-Nya, dengan apa anda bertahkim?“, Mu’az menjawab “ajtahidu ra’yi”, Rasulullah pun menyetujui jawaban Mu’az tersebut. Akan tetapi yang perlu dicatat disini adalah bahwa jawaban yang dikemukakan Mu’az  tidak berhenti sampai “ajtahidu ra’yi” saja. Jawaban lengkap Mu’az adalah “ajtahidu ra’yi wala alu” yakni menggunakan penalaran secara maksimal dengan tidak menafikan konsep wahyu.
Oleh karena itu, para ahli hukum memberikan batasan ijtihad sebagai berikut: “Bazlu al-faqih jundahu ‘ala qadri istitha’atihi”, yakni upaya seorang ahli hukum sejauh kemampuan maksimalnya. Jadi, bukan persesuaiannya dengan rasio, melainkan harus semaksimal mungkin mengerahkan kemampuan rasio oleh seorang faqih untuk mengeluarkan hukum-hukum syar’i berdasarkan dalil-dalil (kulliyyah dan juz’iiyyah tafshiliyyah). Inilah yang dimaksud dengan ijtihad menurut syar’i.[5] Jadi, fiqh tidak akan pernah keluar dari empat pilarnya yakni; al-Qur’an, hadis| Nabi, ijma’ para ulama, dan qiyas shahih. Karena fiqh adalah produk ijtihad, oleh karena itu, pemahaman dari seorang muqallid (awam), para filsuf, ahli kalam, maupun para ahli lain di luar hukum syar’i tidak disebut dengan fikih, dan tidak pula disebut ijtihad.[6]
Pada masa berikutnya sepeninggal Rasulullah, ijtihad juga dilakukan oleh para sahabat, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Umar bin Khatthab yang tidak melakukan hukum potong tangan pada kasus pencurian meskipun telah ditunjukkan al-Qur’an secara pasti tentang masalah tersebut, karena Umar mencoba memahami situasi dan kondisi yang terjadi pada waktu itu. Pada perkembangan selanjutnya, pola ini dijadikan sebagai salah satu rujukan dalam pembentukan dan pembaharuan hukum Islam yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan fiqh. Fiqh dalam istilah para fuqaha merupakan ilmu pengetahuan tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliyah dari dalil-dalilnya yang rinci berdasarkan ijtihad (istidlal).[7]
Jika diamati, pada dasarnya hukum berorientasi pada hak, yakni menjamin tegaknya hak dan sekaligus melindunginya. Dalam hukum Islam terdapat dua hak, yaitu hak Allah dan hak manusia. Konsep hukum yang berkenaan dengan hak Allah (baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah sebagai mubayyin) bentuknya sangat jelas. Seperti hak Allah adalah disembah, sehingga manusia sebagai hamba-Nya berkewajiban untuk memenuhi hak Allah tersebut.[8] Al-Qur’an dan Sunnah telah merinci ketentuan ibadah. Seperti perintah shalat dalam al-Qur’an yang kemudian dirinci oleh Sunnah, sehingga shalat diterima oleh umat Islam sebagai konsep sudah jadi yang tidak perlu ditambah atau dikurangi. Kalaupun ada perkembangan itu hanya berkisar pada wasa’il-nya saja, seperti masjid sebagai sarana untuk beribadah. Bentuk bangunan masjid yang digunakan pada masa Nabi jelas berbeda dengan bentuk bangunan masjid yang ada pada masa sekarang ini.[9]
Sedangkan hak manusia secara umum banyak berkenaan dengan masalah mu’amalah yang jenisnya luas sekali. Para fuqaha membagi hukum Islam (format fiqh yang sudah baku) ke dalam empat bagian, yaitu ibadah, mu’amalah, munakahat, dan jinayat. Sementara Imam al-Ghazali membaginya ke dalam dua bagian; pertama adalah ibadah yang yang berpadu dengan akidah, dan kedua adalah adat yakni yang berkenaan dengan perilaku dan masalah-masalah kemanusiaan yang berisikan mu’amalah, munakahat, dan jinayat. Pada bagian kedua inilah lapangan ijtihad terbuka lebar meski sempat mandek sejak ditutupnya pintu ijtihad pada abad ke-4 Hijriah. Fase kemandekan ijtihad ini berlangsung sangat lama, sekitar 9 abad, tepatnya hingga abad ke-13 Hijriah.[10]
Sejak abad ke-13 hingga saat ini, masalah ijtihad menjadi salah satu isu besar yang direspon dengan antusiasme tinggi di kalangan umat Islam. Para intelektual muslim terkemuka senantiasa mendorong dilakukannya upaya ijtihad di tengah-tengah umat dan bahkan mempraktekkannya. Mereka sepakat hendak membuka dan mendobrak pintu ijtihad untuk mengatasi kemerosotan berpikir umat Islam yang sudah berlangsung lama sejak abad ke-4 Hijriah. Tujuannya hanya satu, yaitu bagaimana membumikan kembali prinsip-prinsip yang terkandung dalam wahyu.

C.    Pembaharuan Hukum Keluarga Islam
Salah satu fenomena penting yang muncul di dunia muslim sejak awal abad ke-20 adalah adanya semangat dan upaya untuk mereformasi hukum keluarga di negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim. Secara garis besar sistem hukum keluarga yang berlaku di dunia Islam atau yang mayoritas penduduknya muslim bisa dibagi menjadi 3 (tiga) bagian[11], yaitu:
1.  Sistem yang masih memberlakukan fiqh konvensional sebagai hukum asasi (pokok) dan berusaha untuk menerapkanya dalam segala aspek hubungan kemanusiaan secara utuh. Di sini, hukum Islam dipahami secara tekstual-literal sebagaimana yang tercantum dalam teks-teks agama. Contoh hukum keluarga yang diberlakukan adalah otoritas talak hanya dimiliki oleh kaum lelaki, pemberlakuan poligami dan lain-lain. Di antara negara yang mempertahankan model ini adalah Arab Saudi dan wilayah utara Nigeria.
2.  Sistem yang meninggalkan fiqh konvensional dan menggantinya dengan hukum yang sama sekali sekuler. Negara muslim yang setidak-tidaknya secara resmi telah sama sekali berubah menjadi sekuler adalah Turki. Pada tahun 1926 hukum Swiss ditetapkan sebagai pengganti hukum Islam, termasuk mengenai hukum keluarganya, monogami diterapkan sebagai pengganti poligami, dan perceraian berdasarkan atas ketetapan hakim berdasarkan alasan-alasan tertentu, yang sama bagi suami atau istri yang berperkara diterapkan sebagai pengganti talak yang dijatuhkan secara sepihak oleh suami atau yang dijatuhkan atas kesepakatan kedua suami-isteri yang bersangkutan.
3.  Sistem yang mencoba mengambil jalan moderat di antara dua sistem hukum yang ekstrim yakni menerapkan hukum Islam secara penuh dan sistem yang sama sekali menolak hukum Islam. Contoh negara yang berusaha mengkompromikan kedua sistem tersebut antara lain Mesir, Sudan, dan Yordania, dan Indonesia juga masuk kategori ini.[12]
Dari ketiga corak aplikasi hukum Islam di dunia muslim di atas menunjukkan bahwa perbedaan sistem dan bentuk pembaharuan hukum Islam bukan hanya disebabkan oleh sistem politik yang dianut, melainkan juga oleh faktor perbedaan sejarah, sosiologi dan kultur masing-masing negara.
Dilihat dari segi bentuk pembaharuannya, Negara-negara muslim menjadi 3 (dua) yaitu: pertama, umumnya (mayoritas) negara melakukan pembaharuan dalam bentuk undang-undang. Kedua, ada negara yang usaha pembaharuannya lahir dalam bentuk ketetapan-ketetapan hakim (manshurat al-Qadi al-Quda), seperti yang dilakukan Sudan. Dan Ketiga, ada beberapa negara yang melakukan pembaharuan dengan berdasar pada dekrit presiden atau raja, seperti: Yaman Selatan, Syria, dan Maroko.[13]
Adapun Tujuan pembaharuan hukum keluarga Islam kontemporer secara umum dapat pula dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yakni: pertama, untuk unifikasi hukum perkawinan. Terdapat 5 (lima) model unifikasi, yaitu (1) unifikasi antar agama, (2 ) unifikasi antar aliran (kelompok) seperti antara syi’ah dan sunni, (3)unifikasi antar mazhab dalam sunni, (4) unifikasi dalam satu mazhab tertentu seperti shafi’i, dan (5) unifikasi dengan berpegang pada pendapat imam di luar imam mazhab yang terkenal seperti Ibn qayyim al-Jauziyah. Kedua, untuk meningkatkan status wanita. Dan Ketiga untuk merespon terhadap perkembangan dan tututan zaman.[14]
Dari sekian banyak cakupan perundang-undangan perkawinan, minimal ada 13 (tiga belas) yang mengalami pembaharuan, yakni: masalah pembatasan umur minimal kawin, masalah wali, masalah pendaftaran dan pencatatan perkawinan, masalah poligami, masalah nafkah, masalah talak dan cerai di muka pengadilan, masalah hak-hak yang dicerai, masalah masa hamil dan akibat hukumnya, masalah hak dan tanggung jawab pemeliharaan anak pasca perceraian, masalah hak waris bagi anak laki-laki dan perempuan, masalah wasiat bagi ahli waris, dan masalah keabsahan dan pengelolaan wakaf keluarga.[15]
Adapun sifat dan metode reformasi yang digunakan negara-negara muslim dalam melakukan pembaharuan hukum keluarga Islam dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua):
1.  Inttra-doctrinal reform, yaitu tetap merujuk pada konsep fiqh konvensional dengan cara talfig (memilih salah satu pendapat ulama fiqh) atau talfiq (mengkombinasikan sejumlah pendapat ulama).
2. Extra-doctrinal reform, pada prinsipnya tidak lagi merujuk pada konsep fiqh konvensional, tetapi dengan melakukan reinterpretasi terhadap nash.[16]

D.    Kontektualiasi Hukum Keluarga Islam di Negara-negara Muslim
Dalam bab ini hanya akan dibahas sebagian kecil saja dari beberapa negara muslim yang telah melakukan pembaharuan hukum keluarga Islam. Negara-negara yang akan dibahas adalah Turki, Mesir, dan Indonesia. Turki dan Mesir dianggap sebagai pelopor dalam pembaharuan hukum keluarga Islam di dunia, karena memang dua negara tersebutlah yang telah melakukan pembaharuan hukum keluarga Islam pertama kali. Adapun Indonesia, sebagai megara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia dianggap sebagai negara yang relatif terlambat dalam melakukan pembaharuan di bidang hukum keluarga Islam. Karena itu ketiga negara tersebut, menurut penulis sangat menarik untuk diuraikan lebih lanjut.

1. Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Turki
Penerapan hukum Islam dalam terma kenegaraan secara serius dan sistematis dimulai pada masa Umar bin Abdul Aziz. Negara pada saat itu merupakan lembaga eksekutif yang menerapkan hukum Islam sebagaimana dirumuskan oleh otorita hukum setempat di masing-masing daerah. Kumpulan hukum (fiqh) yang mengatur hal-hal pokok dilaksanakan secara seragam, namun berkaitan dengan hal-hal yang detail banyak terjadi perbedaan karena praktek-praktek setempat dan variasi-variasi yang berbeda sebagai hasil ijtihad para ulama.[17]
Pembaruan hukum keluarga dalam format perundang-undangan hukum keluarga dimulai pada tahun 1917 dengan disahkannya The Ottoman Law of Family Rights (Undang-undang tentang hak-hak keluarga) oleh Pemerintah Turki. Pembaruan hukum keluarga di Turki merupakan tonggak sejarah pembaruan hukum keluarga di dunia Islam dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan hukum keluarga di negara-negara lain.
Pembaruan hukum keluarga Turki telah dimulai pada tahun 1876. Pada tahu tersebut Turki telah mempersiapkan sebuah undang-undang civil yang didasarkan pada mazhab Hanafi, yaitu yang disebut dengan Majallat al-Ahkam al-Ardliyyah, tetapi di dalamnya belum ada aturan perkawinan dan warisan.[18]
Pada tahun 1915, kerajaan mengeluarkan dua dekrit yang mereformasi hukum matrimonial (yang berhubungan dengan perkawinan) dalam mazhab Hanafi yang secara lokal terkait dengan hak-hak perempuan terhadap perceraian. Dalam dekrit tersebut digunakan prinsip takhayyur (eklektik) dengan mengambil sumber dari mazhab Hanbali dan Hanafi. Dinyatakan dalam dua dekrit tersebut bahwa perempuan diperbolehkan mengupayakan perceraian atas dasar ditinggalkan suami atau karena penyakit yang di deritanya.[19]
Dua tahun kemudian, Imperium mengeluarkan undang-undang tentang hukum matrimonial. UU tersebut terdiri dari 156 pasal yang berisi tentang hak-hak dalam keluarga (minus pasal mengenai waris). UU inilah yang kemudian diberi nama Qanun Qarar al-Huquq al-‘Ailah al-Uthmaniyyah (the Ottoman Law of Family Rights) Tahun 1917. Penetapan UU ini didorong semangat takhayyur, proses legilslasi yang mulai menjadi ternd pada era itu dan kemudian diperkenalkan ke seluruh dunia muslim sebagai cita-cita umum kodifikasi dan reformasi hukum keluarga.[20]
Beberapa tahun setelah pencabutan hukum tentang hak-hak keluarga tahun 1917, situasi politik di Turki memberikan sedikit ruang untuk melakukan pembaruan hukum. Pasca konferensi Perdamaian Laussane tahun 1923, pemerintah Turki membentuk komisi hukum untuk mempersiapkan hukum perdata baru. Komisi tersebut berusaha menempatkan hukum tentang hak-hak keluarga tahun 1917 Majallat al-Ahkam al-Ardliyyah tahun 1876 dan hukum tradisional yang tidak tertulis ke dalam hukum baru yang menyeluruh. Namun perbedaan pendapat yang tajam di kalangan modernis dan tradisional - seperti pengambilan materi dari mazhab yang berbeda dalam hukum Islam, yang bersumber dari hukum adat atau hukum luar - menjadikan komite hukum kacau dan dibubarkan.[21]
Guna mengisi kekosongan hukum pasca kegagalan komisi hukum tersebut, Pemerintah Turki mengadopsi hukum perdata Swiss tahun 1912 (The Civil Code of Switzerland, 1912) dengan beberapa perubahan yang disesuaikan dengan kondisi Turki dan diundangkan dalam hukum perdata Turki tahun 1926 (The Turkish Civil Code of 1926). Dalam beberapa hal ketentuan dalam hukum perdata Turki tahun 1926 sangat menyimpang dari hukum Islam tradisonal, seperti ketentuan waris dan wasiat yang mengacu pada hukum perdata Swiss tahun 1912. Materi yang menonjol dalam hukum perdata Turki tahun 1926 adalah ketentuan-ketentuan tentang pertunangan (terutama masalah taklik talak), batas usia minimal untuk kawin, larangan menikah, poligami, pencatatan perkawinan, pembatalan perkawinan, perceraian, dan lain-lain.[22]
Hukum keluarga di Turki telah mengalami beberapa kali perubahan. Hukum tentang hak-hak keluarga tahun 1917 (The Ottoman Law of Family Rights) diperbarui dengan Hukum Perdata Turki Tahun 1926 (Turkish Civil Code, 1926), kemudian diamandemen dua kali, tahapan tahun 1933-1956 dan tahun 1988-1992.

2. Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Mesir
Kodifikasi hukum Islam yang sesungguhnya baru terlaksana pada tahun 1293 H/1876 M oleh Kerajaan Turki Usmani (Ottoman) dengan menerbitkan kitab yang berjudul Majallat al-Ahkam al-Ardliyyah yang diberlakukan di seluruh wilayah kekuasaan Turki Usmani ketika itu sampai dasawarsa ketiga abad ke-20. Kodifikasi hukum yang dihimpun ulama fiqh di zaman Turki Usmani ini hanya mencakup bidang muamalah dan hanya bersumber dari Mazhab Hanafi. Mesir dan Suriah, yang tidak tunduk sepenuhnya kepada kerajaan Turki Usmani, tidak menerima kodifikasi hukum fiqh tersebut karena mayoritas umat Islam di kedua tempat itu bermazhab Syafi'i.[23]
Setelah perang dunia ke-2, bermunculan kodifikasi hukum di berbagai negara Arab, yang diawali oleh Mesir pada tahun 1875 dan diikuti pula oleh kodifikasi tahun 1883. Kodifikasi Mesir ini merupakan campuran antara hukum Islam dan hukum Barat (Eropa). Setelah itu, pada tahun 1920, Muhammad Qudri Pasya, seorang pakar hukum Mesir, membuat kodifikasi hukum Mesir bidang perdata yang diambil secara murni dari hukum Islam (fiqh). Lebih lanjut, kodifikasi di Mesir mengalami beberapa kali perubahan, antara lain pada tahun 1920, 1929, dan 1952.[24]
Kajian tersendiri terhadap masalah hukum keluarga baru dimulai sekitar paruh kedua abad ke-19. Sebelumnya hukum perseorangan dan keluarga itu tersebar dalam berbagai bab fiqh. Orang yang pertama memisahkannya dalam suatu kajian tersendiri adalah Muhammad Qudri Pasya, ahli hukum Islam di Mesir. Dialah orang pertama yang mengkodifikasikan al-Ahwal as-Syakhsiyyah dalam suatu buku yang berjudul al-Ahkam as-Syar'iyyah fi al-Ahwal as-Syakhsiyyah (hukum syari'at atau agama dalam hal keluarga).[25]
Secara historis, pembaharuan hukum keluarga di Mesir dimulai sekitar tahun 1920. Pada tahun ini, seri pertama rancangan undang-undang hukum keluarga resmi diundangkan. Pada tahun 1929 dilakukan amandemen kedua terhadap beberapa pasal pada undang-undang sebelumnya. Setelah itu, tercatat dua kali amandemen terhadap hukum keluarga Mesir yaitu pada tahun 1979 dan 1985. Reformasi hukum keluarga Mesir antara lain terkait dengan masalah poligami, wasiat wajibah, warisan, dan pengasuhan anak.[26]
Hukum Islam dalam bentuk peraturan perundang-undangan di Mesir antara lain dapat dilihat dalam: (1) Perundang-undangan tentang Status Personal dan Pemeliharaan (The Laws on Maintenance and Personal Status) yang mengalami perubahan-perubahan dalam rentang tahun 1920-1929, (2) Undang-undang tentang Pemeliharaan, Wasiat, dan Wakaf (The Laws on In-heritance, Wills, and Endowment) dalam rentang tahun 1943-1952, (3) Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Undang-undang tentang Peradilan (Civil Codes and Laws on Courts) dalam rentang 1931-1955, (4) Pembentukan Lembaga Pengawas hukum personal (Executory Legislation Relating to Personal Law) dalam rentang 1955-1976, (5) Amandemen Hukum Status Personal (Personal Status [Amandment] Law) tahun 1985.[27]
Kodifikasi hukum keluarga itu meliputi hukum perkawinan, perceraian, wasiat, ahliyyah (kecakapan bertindak hukum), harta warisan, dan hibah. Meskipun belum dinyatakan resmi berlaku oleh pemerintah, kodifikasi tersebut telah dijadikan sebagai bahan rujukan oleh para hakim dalam memutuskan berbagai masalah pribadi dan keluarga di pengadilan. Dalam perkembangan selanjutnya, kodifikasi itu dijadikan pedoman dan diterapkan pada Mahkamah Syar'iyyah Mesir. Pasal 13 Kitab Undang-undang Acara Peradilan Mesir menyebutkan bahwa al-Ahwal as-Syakhsiyyah menyangkut masalah-masalah yang berhubungan dengan pribadi, ahliyyah, dan keluarga (seperti perkawinan dan akibat hukumnya, pengampuan, orang mafqud dan harta warisan).[28]
Setelah Mesir melakukan pembaruan hukum keluarga berikutnya muncul berbagai kodifikasi hukum di beberapa negara muslim lainnya, seperti Irak (tahun 1951 dan 1959 dan diubah tahun 1963 dan 1978), di Yordania (tahun 1951 dan diubah pada tahun 1976), Libanon (tahun 1917 dan 1934), Suriah (tahun 1949, 1953 dan 1975), Libya (tahun 1953), Maroko (tahun 1913 dan 1957), Tunisia (tahun 1906, 1913, dan 1958), Sudan (tahun 1967), Kuwait (tahun 1983, Uni Emirat Arab (tahun 1979, 1980, 1984, 1985, dan 1986) dan Indonesia (tahun1954, 1974, 1975, 1991, dan 2006).[29]

3. Positivisasi Hukum Keluarga Islam di Indonesia
Agama sebagai sebuah institusi memiliki kepentingan yang signifikan atas keluarga, sebab keluarga sebagai satuan kelompok sosial terkecil memiliki peran penting dalam melakukan sosialisasi nilai-nilai yang ada dalam agama. Sementara itu negara, sebagai institusi modern pun tak bisa mengabaikan keluarga dalam mengatur dan menciptakan tertib warganya. Meskipun kepentingan negara ini tidak selalu sama dalam setiap masa pemerintahan.
Ketika zaman Kolonial misalnya, Hindia Belanda berkepentingan untuk mengukuhkan pengaruh dan kekuasaannya atas warga jajahan dengan cara mengatur mereka melalui serangkaian produk undang-undang, termasuk di dalamnya hukum perkawinan, yang merupakan rekomendasi dari hasil kongres Perempuan ke-2. Melalui pengaturan inilah tata kependudukan negara jajahan diatur. Pada masa itu pembuatan dan pembahasan RUU Perkawinan (Ordonansi) dari pemerintah penjajah tidak sepenuhnya sesuai dengan harapan warga bangsa, bahkan terkesan setengah hati, karena isinya disamping berlaku untuk seluruh penduduk bumi putra tanpa membedakan agama dan suku bangsa, juga sangat banyak bertentangan dengan hukum Islam, sehingga oleh organisasi-orgaisasi Islam rancangan ordonansi itu ditolak, dan akhirnya urung dibicarakan dalam Dewan Rakyat (Volksraad) saat itu.[30]
Begitu juga di awal kemerdekaan, orde lama menggunakan pengaturan bidang perkawinan (UU No. 22 Tahun 1946) sebagai kompromi dengan kepentingan berbagai kelompok yang menghendaki kesatuan antara hukum negara dan agama dalam kehidupan umum, artinya pembentukan perundang-undangan tentang perkawinan harus berbentuk unifikasi, dan berlaku bagi seluruh penduduk Indonesia.[31] Di sini perempuan lebih parah nasibnya, karena dalam perkembangannya di kemudian hari banyak terjadi perceraian yang sewenang-wenang dan perkawinan perempuan di bawah umur.[32]
Demikian juga jauh sebelum kemerdekaan, Raden Ajeng Kartini (1879-1904) di Jawa Tengah dan Rohana Kudus di Minangkabau adalah tokoh yang telah lama mengkritik keburukan-keburukan yang diakibatkan oleh perkawinan di bawah umur, perkawinan paksa, poligami dan talak. Khusus pada kasus poligami, Puteri Indonesia bekerja sama Persaudaraan Isteri, Perrsatuan Isteri dan Wanita Sejat pada tanggal 13 Oktober 1929 membuat kesepakatan tentang larangan poligami. Sejalan dengan itu, pada bulan Juli 1931 kongres Isteri Sedar memperkuat larangan poligami yang kemudian ditetapkan pada tanggal 13 Oktober 1929.[33]
Sementara pada masa Orde Baru, pemerintah menggunakan pengaturan perkawinan sebagai sarana pendukung strategi pembangunan, meskipun harus berkompromi dengan kepentingan kelompok dominan Islam, sehingga sempat menghasilkan RUU Perkawinan khusus untuk umat Islam walaupun akhirnya gagal diundangkan. Penegasan serupa kembali dikumandangkan pemerintah dalam sidang MPR hasil pemilu 1971, dimana dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dijelaskan bahwa posisi Agama tidak dapat secara etis dibandingkan dengan hukum-hukum yang berlaku dalam Negara. Hukum Islam merupakan syariat yang mengikat kepada pemeluknya semata, dan norma-norma yang ada merupakan nilai yang sifatnya pribadi dan menyangkut hubungan manusia sebagai makhluk dengan Tuhan-Nya sebagai pencipta.[34]
a. Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Lahirnya UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan merupakan hasil kompromi anggota-anggota Parlemen, yang sebelumnya telah dilalui dengan perjuangan dan perdebatan panjang yang melelahkan. Perjuangan dan Perdebatan panjang yang dimaksud karena sebelum UU Nomor 1 tahun 1974 disahkan oleh DPR (2 Januari 1974), telah ada dua RUU perkawinan yang masuk dan dibahas di Parlemen, yakni RUU tentang perkawinan Umat Islam (22 Mei 1967) dan RUU tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Perkawinan (7 September 1968). Namun kedua RUU tersebut tidak bisa diselesaikan sebagaimana yang diharapkan karena tidak ada kata sepakat di antara anggota Parlemen ketika itu sehingga Presiden menarik kembali kedua RUU tersebut pada tanggal 31 Juli 1973. [35]
Ketidaksepakatan anggota parlemen tersebut lebih disebabkan oleh masalah kepentingan golongan yang sejak semula telah menampakkan diri. Paling tidak ada tiga kelompok besar sepanjang sejarah Indonesia yang berusaha selalu melibatkan diri untuk memunculkan wacana UU Perkawinan, yakni kelompok keagamaan, negara dan kaum perempuan, dimana kelompok yang menamakan dirinya nasionalis Islami menginginkan bahwa dalam hal perkawian, umat Islam sudah ada petunjuk yang jelas, dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sedangkan kelompok nasionalis sekuler tetap menginginkan bahwa adanya UU perkawinan yang sifatnya nasional tanpa membedakan-bedakan agama, adat, dan suku bangsa.[36]
Sebagai respon atas kegagalan diundangkannya dua RUU perkawinan di atas, muncul berbagai tuntutan kepada pemerintah untuk segera membuat UU perkawinan dan memberlakukannya kepada seluruh warga Indonesia. Tuntutan itu di antaranya datang dari ISWI (Ikatan Sarjana Wanita Indonesia) dan badan Musyawarah Organisasi-organisasi Wanita Islam Indonesia).[37]
Pada tanggal 22 Desember 1973, Pemerintah mengajukan kembali RUU perkawinan yang baru. Setelah dibahas di DPR kurang lebih selama tiga bulan dan mengalami beberapa perubahan, akhirnya pada sidang paripurna (tanggal 2 Januari 1974) RUU tersebut disahkan dan diundangkan sebagai UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Lembaran Negara (LN) Nomor 1 Tahun 1974, Tambahan LN Nomor Tahun 3019/1974.[38]
Dari uraian di atas, kelihatan sekali bahwa secara historis ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya UU Nomor 1 Tahun 1974 antara lain:
1.  Kebutuhan Bersama
2.  Semangat Nasionalisme (menjaga ke-behinnekaan)
3.  Pelaksanaan pasal 29 ayat (2) UUD 1945
4.  Perbedaan Pendapat Di kalangan Umat Islam
b. Latar Belakang Lahirnya Kompilasi Hukum Islam
Kompilasi Hukum Islam (Inpres Nomor 1 Tahun 1991) hanyalah merupakan jalan pintas yang bersifat sementara, dengan harapan suatu saat nanti akan lahir Kitab Undang-Undang Pertada Islam yang lebih permanen. Dikatakan sebagai jalan pintas karena memang sangat mendesak dan dibutuhkan, dimana lembaga Peradilan Agama (PA) yang dinyatakan sah berdiri sejajar dengan badan peradilan lainnya melalui UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, dan kemudian dipertegas melalui UU Nomor 7 tahun 1989, ternyata tidak memiliki hukum materiil yang seragam (unifikatif) secara nasional, sehingga dapat menimbulkan putusan yang berbeda di antara pengadilan agama yang satu dengan yang lain walaupun dalam kasus yang serupa, disamping itu juga membuat kehadiran PA sebagai salah satu kekuasaan kehakiman menjadi tidak terpenuhi persyaratannya.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, ada wacana agar menempuh jalur formil sesuai dengan kententuan pasal 5 ayat 1 jo pasal 20 UUD 1945, dengan demikian hukum materiil yang akan dimiliki berbentuk hukum positif yang sederajat dengan undang-undang dan keabsahannya benar-benar bersifat legalistik (Legal law). Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa jauhnya jarak yang akan dilalui. Berbagai tahap harus ditempuh, mulai dari menyusun draft RUU-nya sampai kepada pembahasannya di Parlemen. Bukan hanya itu, faktor-faktor non teknis pun sangat sulit untuk ditembus, seperti iklim politik yang kurang mendukung, serta faktor psikologis. Memang satu segi secara konstitusional kehadiran dan keberadaan Peradilan Agama telah diakui semua pihak, namun di segi lain barangkali belum terpupus sikap alergi dan emosional yang sangat reaktif terhadap keharusan adanya Hukum Perdata Islam dalam jangka waktu singkat, jika jalur yang ditempuh melalui saluran formil perundang-undangan.[39]
Menyikapi dan juga memperhatikan kondisi tersebut, serta dikaitkan dengan kebutuhan yang sangat mendesak di sisi lain, maka dicapai kesepakatan antara Menteri Agama dengan Ketua Mahkamah Agung saat itu untuk mencarikan solusi dengan menempuh jalur singkat dalam bentuk Kompilasi, maka kemudian lahirlah Surat Keputusan Bersama (SKB) aantara Ketua mahkamah Agung dan Menteri Agama tanggal 21 Maret 1985 No.07/KMA/1985 dan No.25 tahun 1985 yang menugaskan penyusunan hukum positif Perdata Islam dalam Kitab Hukum Kompilasi kepada Panitia, dengan ketentuan harus menggali dan mengkaji sedalam dan seluas mungkin sumber-sumber hukum Islam yang terdapat dalam al-Quran dan Sunnah, disamping kitab-kitab fiqh Imam Mazhab yang kemudian dijadikan orientasi,  bahkan juga sempat melakukan studi banding ke berbagai negara-negara yang berbasis Islam.[40]
Untuk melegalkan, maka direkayasalah Kompilasi tersebut dalam bentuk Intruksi Presiden pada tanggal 10 Juni 1991. Dan pernyataan berlakunya dikukuhkan dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 154 tahun 1991, tanggal 22 Juli 1991. Dengan demikian sejak itu pula Kitab Kompilasi Hukum Islam (KHI) resmi berlaku sebagai hukum yang dipergunakan dan diterapkan oleh instansi Pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dalam penyelesaian masalah-masalah yang berkenaan dengan perkawinan, hibah, wakaf dan kewarisan.
Uraian di atas telah menunjukan benang merah sebagai gambaran bahwa yang menjadi faktor penyebab lahirnya KHI tersebut antara lain:
1.  Kekosongan Hukum
2.  Amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
3.  Banyaknya Mazhab Fiqh yang dianut di Indonesia serta tidak adanya persamaan persepsi dalam mendefinisikan hukum Islam, antara syariat dengan fiqh 

E.    Penutup
Hukum Islam selalu mampu bergerak dan berjalan seiring dengan pergerakan dan perkembangan kemajuan masyarakat dimanapun dan kapanpun, tanpa harus meninggalkan keaslian dan prinsip-prinsip ajarannya. Hal ini dimungkinkan karena Allah yang Maha Bijaksana telah membuat pola nash (aturan syari’at) sedemikian rupa, sehingga pada persoalan yang akan berkembang terus, para mujtahid di setiap waktu dapat melakukan ijtihad, karena nash yang mengatur masalah itu, hanya merupakan prinsip umum dan aturan pokok saja, yang pengembangannya dapat dilakukan setiap saat.
Untuk tercapainya keluarga sakinah yang dipenuhi oleh mawaddah dan rahmah, dan hubungan yang harmonis antara suami dan istri, serta anggota keluarga, maka perlu diperhatikan dan diindahkannya aturan yang telah ditetapkan syari’. Kreasi dan inovasi hanya dapat dilakukan pada masalah-masalah yang belum ada ketentuannya secara pasti.
Upaya umat Islam di beberapa negara muslim di dunia untuk memformalisasikan ajaran Islam dalam bentuk perundang-undangan sehingga ajaran Islam menjadi hukum yang hidup di tengah masyarakat adalah upaya yang sangat pantas disyukuri. Kalaupun ternyata undang-undang dan aturan yang dihasilkan belum lagi seideal yang diharapkan, itu adalah suatu proses yang harus dilalui dan membutuhkan pemikiran semua kalangan untuk mewujudkannya.
Wallahu a’lamu bi as-Shawab.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, cet. ke-1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.
Bashari, Agus Hasan, Mewaspadai Gerakan Kontekstualisasi Al-Qur’an, Surabaya: Pustaka Sunnah, 2003.
Dawi, Ahsan, Pembaruan Hukum Keluarga di Turki (Studi Atas Perundang-Undangan Perkawinan), www.badilag.net/.../Pembaruan%20Hukum %20Keluarga%20Di%20 Turki.pdf, akses tanggal 1 November 2010.
Firdaus, Ushul Fiqh: Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif, cet. ke-1, Jakarta: Zikrul Hakim, 2004.
Hanafi, Syafiq Mahmadah dan Fatma Amilia, “Fiqh dan Ushul Fiqh Pada Periode Taqlid” dalam Mazhab Jogja: Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2002.
Hasan, K.N. Sofyan dan Warkum Sumitro, Dasar-Dasar Memahami Hukum Islam di Indonesia, Surabaya: Usaha Nasional, 1994.
Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Indonesia, cet. ke-1, Jakarta: Kencana, 2006.
Mualim, Amir dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam,, Yogyakarta: UII Press, 2001.
Mudzhar, Atho’, Membaca Gelombang Ijtihad; Antara Tradisi Dan Liberasi, cet. ke-2, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2000.
--------,Hukum Keluarga Di Dunia Islam Modern, cet. I, Jakarta: Ciputat Press, 2003.
Nasution, Khoiruddin, Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, cet. ke-1, Yogyakarta: Tazzafa dan Accamedia, 2007.
--------, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia Dan Perbandingan Hukum Perkawinan Di Dunia Muslim, cet. ke-1, Yogyakarta: Acamedia dan Tazzafa, 2009.
Pokja Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI, Menuju Kompilasi Hukum Islam (KHI) Indonesia Yang Adil Gender, http://www.fahmina. or.id/pemikiran-fahmina/fiqh-perempuan/703-menuju-kompilasi-hukum-islam-khi-indonesia-yang-adil-gender.html, akses 1 November 2010.
Rahman, Fazlur, Islam, alih bahasa Ahsin Mohammad, cet. ke-4, Bandung:Pustaka, 2000.
Syams, Husni, Urgensi Kodifikasi Hukum Keluarga, http://www.husnisyams. co.cc/2010/02/kodifikasi-hukum-keluarga-pada-masa.html, akses tanggal 1 November 2010.
Wahid, Abdurrahman, Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia, Bandung: Rosdakarya, 1990.
Wahidin, Samsul dan Abdurrahman, Perkembangan Ringkas Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 1984.
Yafie, Ali, Sistem Pengambilan Hukum oleh A’immatu al-Mazahib dalam Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1990.
Zahid, Moh., Dua Puluh Lima Tahun Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan. Badan Litbang Departemen Agama RI. 2003.
Zaidan, Abdul Karim, al-Madkhal li Dirasah al-Syar’iyyah al-Islamiyyah, Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1981.


[1] Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perkawinan dan Perceraian di Dunia Islam, dosen pengampu Prof. Dr. H. Khoiruddin Nasution, M.A.
[2] Penulis adalah mahasiswa program Magister (S2) Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Program Studi Hukum Islam, Konsentrasi Hukum Keluarga, angkatan 2010.
[3] as-Saba’ (34) : 28 dan al-Anbiya’ (21) : 107.
[4] M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, cet. ke-1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 5.
[5] Firdaus, Ushul Fiqh: Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif, cet. ke-1 (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004), hlm. 73
[6] Agus Hasan Bashari, Mewaspadai Gerakan Kontekstualisasi Al-Qur’an (Surabaya: Pustaka Sunnah, 2003), hlm. 152-153.
[7] Abdul Karim Zaidan, al-Madkhal li Dirasah al-Syar’iyyah al-Islamiyyah, (Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1981), hlm. 63.
[8] az-Zariyat (51) : 56.
[9] Masalah perkembangan ini dalam kaidah fiqh dinyatakan dalam sebuah kaidah “Yugtafaru fi al-wasa’il ma la yugtafaru fi al-maqasid”. Lebih lanjut lihat Ali Yafie, Sistem Pengambilan Hukum oleh A’immatu al-Mazahib dalam Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1990), hlm. 14.
[10] Syafiq Mahmadah Hanafi dan Fatma Amilia, “Fiqh dan Ushul Fiqh Pada Periode Taqlid” dalam Mazhab Jogja: Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer (Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2002), hlm. 86-88.
[11] Atho’ Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad; Antara Tradisi Dan Liberasi, cet. ke-2 (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2000), hlm. 174-175. Lihat Juga Amir Mualim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam  (Yogyakarta: UII Press, 2001), hlm. 7.
[12] Akan tetapi khusus dalam hukum keluarga yang diterapkan seringkali porsi yang banyak diberikan adalah hukum Islam sebagaimana dipahami oleh kelompok pertama.
[13] Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, cet. ke-1 (Yogyakarta: Tazzafa dan Accamedia, 2007), hlm. 43.
[14] Ibid., hlm. 44-45.
[15] Ibid., hlm. 45-46.
[16] Ibid., hlm. 47.
[17] Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa Ahsin Mohammad, cet. ke-4 (Bandung: Pustaka, 2000), hlm. 108.
[18] Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan Di Dunia Muslim, cet. ke-1 (Yogyakarta: Acamedia dan Tazzafa, 2009), hlm. 166.
[19] Isroqunnajah, Hukum Keluarga Islam Di Republik Turki, dalam Atho’ Muzdhar dan Khoiruddin Nasution (ed), Hukum Keluarga Di Dunia Islam Modern, cet. ke-1 (Jakarta: Ciputat Press, 2003), hlm. 39.
[20] Ibid., hlm. 40.
[21] Ahsan Dawi, Pembaruan Hukum Keluarga di Turki (Studi Atas Perundang-Undangan Perkawinan), www.badilag.net/.../Pembaruan%20Hukum%20Keluarga%20Di%20 Turki.pdf, akses tanggal 1 November 2010.
[22] Ibid.
[23] Husni Syams, Urgensi Kodifikasi Hukum Keluarga, http://www.husnisyams.co.cc/ 2010/02/kodifikasi-hukum-keluarga-pada-masa.html, akses tanggal 1 November 2010.
[24] Ibid.
[25] Ibid.
[26] Pokja Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI, Menuju Kompilasi Hukum Islam (KHI) Indonesia Yang Adil Gender, http://www.fahmina.or.id/pemikiran-fahmina/fiqh-perempuan/703-menuju-kompilasi-hukum-islam-khi-indonesia-yang-adil-gender.html.
[27] Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata, hlm. 168. Lihat juga Atho’ Muzdhar, Hukum Keluarga, hlm. 13. Keterangan serupa juga dapat dibaca pada Ahmad Tholabi Kharlie, Legislasi Hukum Islam Di Dunia Muslim Modern, http://jurnalalrisalah.com/index.php? option=com_content&view=article&id=93:legislasi-hukum-islam-di-dunia-muslim-modern& catid=41:-al-risalah-volume-9-nomor-1juni-2009&Itemid=57, akses 1 Novemmber 2010.
[29] Khoiruddin Nasution, Sejarah singkat Pembaruan Hukum Keluarga Muslim, dalam Atho’ Muzdhar dan Khoiruddin Nasution (ed), Hukum Keluarga Di Dunia Islam Modern, hlm. 10-19.
[30] Moh. Zahid, Dua Puluh Lima Tahun Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan. (Badan Litbang Departemen Agama RI. 2003), hlm. 12.
[31]  Ibid., hlm. 15.
[32] Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata, hlm. 30.
[33] Ibid., hlm. 33.
[34] Samsul Wahidin dan Abdurrahman, Perkembangan Ringkas Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika Pressindo, 1984), hlm. 99.
[35] Pernyataan tersebut dimuat dalam pengantar rancangan UU tentang perkawinan.
[36] K.N. Sofyan Hasan dan Warkum Sumitro, Dasar-Dasar Memahami Hukum Islam di Indonesia (Surabaya: Usaha Nasional, 1994), hal. 122.
[37] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Indonesia, cet. ke-1 (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 4.
[38] Ibid., hlm. 5-6.
[39] Abdurrahman Wahid, Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung: Rosdakarya, 1990), hal. 235.
[40] Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata, hlm. 57-59.

Posting Komentar

0 Komentar